Dalam percakapan di sebuah grup perpesanan, seorang teman menyindir pemerintah Indonesia. Katanya, "Cina, Amerika, dan Eropa Covid-19 sudah usai, Indonesia kok ya lockdown lagi."Â
Saya tanya apakah dia punya solusi yang bisa disampaikan kepada pemerintah untuk mengatasi keadaan.Â
Jawabnya, "Oh, solusi itu urusan pemerintah. Dia digaji untuk itu. Kalau tak bisa melindungi rakyatnya, ya, lempar handuklah."
Saya tak mau berdebat lagi. Saya tahu, faktual, banyak pihak di Indonesia yang cacat pikir. Selalu menyalahkan pemerintah sebagai biang kerok pandemi Covid-19.Â
Ada cacat pikir yang lebih parah ketimbang teman itu. Seorang profesor menuduh pemerintah telah menggunakan Covid-19 untuk membunuhi rakyatnya.Â
Seorang pengkotbah mengatakan, dengan dalih mengatasi pandemi, pemerintah hendak memurtadkan umat melaui penutupan rumah-rumah ibadah. "Tuhan akan marah!" katanya.
Ada lagi yang menebar isu Covid-19 itu tidak ada. Itu hanya isu konspirasi bisnis global yang melibatkan pemerintah untuk cari untung dari penjualan vaksin dan obat.Â
Kendati pandangan mereka saling-bertentangan, percaya versus takpercaya ada Covud-19, Â respon sosialnya seragam: abaikan protokol kesehatan Covid-19 bikinan pemerintah. Implusut atau eksplisit, begitulah.
Maka, pada hari-hari ini, di saat gelombang kedua pandemi Covid-19 menggila parah, walau Menteri Kesehatan sudah diganti, masih tetap terjadi gejala "pembangkangan sosial".
Jelasnya, masih banyak warga dari ragam latar dan status sosial yang secara sadar melanggar Prokes Covud-19. Menolak pakai masker di ruang publik; tak mau cuci tangan di tempat umum; tak mau jaga jarak di tempat-tempat kegiatan sosial-ekonomi.Â
Juga tetap ngotot kumpul-kumpul, tetap buka rumah ibadah, dan tetap berkeliaran di luar rumah.