Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Dua Kisah tentang Tomat

15 Juni 2021   06:01 Diperbarui: 15 Juni 2021   09:41 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tomat di kebun alami milik Nishimura Akira, teman FT (Foto: Nishimura Akira, atas ijin)

"Dasar tomat tiada guna. Cabut dan bakar saja. Itu tomat gagal," saran Pelik kepada Arie.  Arie menanggapi saran itu dengan emotikon meraung-raung sehingga seluruh anggota grup bersimpati. Sebab dia  sudah jatuh cinta rupanya pada tomat yang gagal berbuah itu. 

"Ya, sudah. Kalau sudah terlanjur sayang, biarkan saja. Hitung-hitung dia jadi tomat hias. Nanti bisa tulis artikel tip budidaya tomat tanpa buah di Kompasiana," hibur Pelik pada akhirnya.

Itulah yang terjadi. Arie tetap memelihara pohon tomatnya dengan penuh kasih-sayang. Tiap pagi dan sore diajak ngomong, dirayu-rayu, supaya mau berbuah. "Ayo, tomat cantik.  Kita buktikan bahwa Engkong Pelik telah salah menilaimu." Begitu kata-kata motivasi yang selalu dibisikkan Arie kepada tomat kesayangannya.

Dalam psikologi tumbuhan dikatakan sentuhan kasih-sayang kepada tanaman memang akan berdampak positif. Tanaman bisa mendengar dan menunaikan pesan-pesan penuh cinta dari manusia perawatnya. 

Begitulah, pohon tomat Arie itu rupanya membalas cinta tulus Arie padanya. Sekarang tomat itu sudah mulai berbuah, walau tak lebat. Ya, itu ciri keturunan kedua tomat hibrida. Engkong Pelik sudah tahu itu.

"Lihat, Engkong Pilek. Tomatku mulai berbuah." Arie berseru bangga sambil mengagihkan  foto tomat berbuah di grup perpesanan. "Ah, besok juga itu buah bakal rontok semua." Engkong Pelik tetap gigih merisak tomat Arie.

***

Moral dua kisah tomat. Satu: berilah saran kepada sesamamu berdasar pengalaman sendiri, bukan berdasar teori-teori dalam buku teks. Dua: jangan pernah memaksakan suatu saran kepada sesama, karena setiap orang punya kebijakan sendiri dalam mengatasi masalahnya.

Di Kompasiana kini bisa ditemukan banyak artikel tentang cara ini dan itu, tip anu dan ana, tutorial nganu dan nganu. Kita tidak tahu apakah isinya benar-benar berdasar pengalaman pribadi penulisnya, atau hanya berdasar buku-buku teori yang dibacanya. Mengukur kejujuran penulis tak semudah menduga kedalaman laut.

Tapi orang Batak punya satu peribasa untuk menghadapi masalah macam itu, Mata guru roha sisean. Artinya, mata kita menunjukkan banyak hal, tapi hati nurani kitalah yang harus didengar untuk menilai manfaat atau mudaratnya. Itu saja. (efte)

*Semua nama orang dan tempat dalam artikel ini adalah pseudonim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun