Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Aku Jadi Fanatik Gara-gara Menulis Puisi

29 Mei 2021   18:00 Diperbarui: 29 Mei 2021   18:20 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari id.depositphotos.com

Sore ini saya bercanda dengan teman-teman di grup perpesanan. Karena telat bergabung, saya bikin dalih sedang repot mengejar sapi yang kabur ke gedung DPR.

Sejatinya saya telat gabung karena sedang menulis puisi  "Berjagalah!"  Lalu, saat puisi itu saya agihkan di Kompasiana, seorang teman di grup nyeletuk, "Berjaga karena sapi hilang?"

Temanku itu memang gemar bikin isu baru, semacam penyuka argumen "manusia jerami." Masalahnya di situ, sapiku tak hilang, tapi kabur ke gedung DPR.  Itu satu-satunya sapi milikku, lalu apa pula yang mesti dijaga. Sapi kabur, dalilnya, ya, kudu dikejar!

Mestinya dia tanya kenapa sapiku lari ke gedung DPR. Itu baru cerdas. Lalu akan kujawab menurut pengakuan langsung sapiku. Kata Si Sapi, "Kudengar di gedung DPR ada dagang sapi. Harga sapi bisa miliaran rupiah di situ."

"Itu bukan dagang sapi macam kamu. Tapi main politik dagang sapi. Itu pekerjaan 'binatang politik', Zoon Politicon. Kamu, kan bukan binatang politik. Tapi binatang sungguhan." Saya menceramahi sapiku.

Saya tahu sapi itu tak akan mengerti kata-kataku. Tapi apa peduliku.  Sebab sejatinya kata-kataku kutujukan kepada pembaca Kompasiana.  Adakah di antara pembaca yang tak mengerti perkataanku?

Adapun puisi "Berjagalah!" itu, embrionya, baris pertama,  telah saya sampaikan di grup perpesanan. "Gelap malam merayap laksana ular hitam melahap siapa lelap." 

Seorang rekan melanjutkanya, "Bulan tenggelam dalam diam menunggu jerit tanpa peredam. Bayangan itu berkelebat menjauh dari pintu. Menyisakan aku. Dan jempol kaki yang terjepit pintu.
Ngilu."

Semprul! Tamat, sudah! Kalau jempol kaki sudah terjepit pintu, tak bisa kemana-mana lagi. Yang ada hanya, "Ngilu."  Temanku itu betul-betul seorang pembunuh berdarah dingin, pembunuh puisi.

Tapi puisiku pantang mati sebelum ajal. Hari ini dia terjaga, lantar mengeja kata, maka jadilah puisi pendek "Berjaga."  

Ndilalah, pengagihan puisi itu di Kompasiana telah menaikkan poinku menjadi 50,020 poin. Maka aku melompati tanggul pembatas, lompat dari pangkat Penjelajah menjadi Fanatik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun