"Berbahagialah orang yang tahu cara membuat orang ketawa karena pahalanya melimpah-limpah. Dan sosok tersebut adalah mas Felix. Hmm, pantasan suami saya jadi pengagum mas Felix, karena sifatnya sama."Â
Itu komentar Bu (Rose)Lina pada salah satu artikel humorku. Â Dua setengah kalimat awal dalam ujaran itu membuatku tersanjung. Ya, siapa tak tersanjung dibilang ahlipahala yang dikagumi Pak Tjip(tadinata), suami tercinta Bu Lina?
Tapi anak kalimat terakhir membanting bunggahku rata tanah. Ternyata sifatku sama dengan Pak Tjip. Tapi, kalau sifatnya sama, mengapa Bu Lina memilih Pak Tjip sebagai belahan-jiwanya sampai akhir hayat kelak. Bukan Felix Tani. Yah, kalau sudah dapat yang matang, kenapa pula melirik yang mentah?
"Terima kasih sudah memperingatkan, nanti giginya ompong ha ha ha,salam hangat selalu."
Itu balasan Bu Lina terhadap komentar saya pada artikelnya yang mengisahkan kunjungan ke pabrik cokelat di Australia. Komentar saya, sekadar mengingatkan orang sepuh, agar jangan banyak-banyak makan cokelat. Yah, namanya juga orang sok perhatianlah.
Ndilalah, balasan Bu Lina begitu. Â Maknanya dalam, mencerminkan cinta total kepada Pak Tjip. Harus selalu tampil sempurna untuk Pak Tjip. Umur boleh uzur, tapi gigi harus lengkap. Jangan sampai orang bilang, "Beuh, sudah nenek-nenek, ompong pula." Apa kata cicit?
Baidewei, istri saya pengagum Bu Lina juga, karena sifatnya sama. Itu sebabnya saya memlih istriku sebagai belahan-jiwa sampai akhir hayat kami nanti. Bukan Bu Lina. Yah, kalau sudah dapat yang masih segar, kenapa pula melirik yang sudah tua?
Moral humor ini, sekaligus pelajaran dari sikap Bu Lina, manusia itu pada dasarnya sama saja. Karena itu kenalilah keistimewaan pasangan hidupmu. Maka kamu tak akan pernah melirik yang lain.
Pak Tjip, salam damai. Tuhan memberkati kita. Amin. (efte)
Kuis zonder h-diah:
Mengapa Bu Lina dan Pak Tjip tak saling tegur-sapa dalam  artikel-artikel mereka di Kompasiana?