Alunan koor "sing sing so" memanjang dan memelan. Â Tiga belas anak mengangkat kedua belah tangan ke udara. Â Perahu telah tiba di darmaga kampung halaman paman Si Alogo.
"Memangnya, kampung tulangmu di mana Alogo!" Binsar bertanya.
"Tak punya tulang Si Alogo itu. Tak punya pariban dia," Â sambar Poltak, disambut bahana gelak-tawa anak-anak lainnya.
"Awas kau, Poltak!" Â Alogo mengancam. Â Meraup pasir sungai dan melontarkannya ke arah wajah Poltak. Â Bukan Poltak kalau tak berkelit dan terjun menyelam ke lubuh sungai yang agak dalam. Â
Koreografi bubar. Â Anak-anak kembali berendam, menyelam, berenang, saling-siram di badan sungai. Riuh rendah. Â Anak-anak merdeka. Sampai puas dan lapar. Â Lalu bubar.
"Oi, bajuku mana! Bajuku!" Â Poltak berteriak-teriak mencari bajunya. Â Seseorang telah menyembunyikannya. Pasti berniat mengerjai Poltak.
"Kau pulang bugil saja, Poltak! Â Hahaha!" Alogo meledek dan tertawa terbahak-bahak. Â Teman-temannya yang lain riuh menertawai Poltak kecil-kecil bugil. Â
Semua anak telah mengenakan baju masing-masing. Tinggal Poltak yang masih bugil menggigil macam tuyul kedinginan.
"Oi! Alogo! Kau yang sembunyikan, ya. Â Mana bajuku!" Â Tak ada jawaban. Â Hanya tawa riuh teman-temannya.
"Poltak! Â Bajumu disembunyikan Si Alogo di balik simarhuting-huting!" Â
Itu teriakan Berta dari jendela rumahnya. Â Dari tadi, bersama Tiur, dia rupanya mengintip ulah anak-anak lelaki di sungai. Semua kejadian direkam sepasang matanya.