Merona merah wajah Berta. Malu tapi suka. Diikuti Tiur, dia berlari menuju rumahnya, di seberang sungai, diselang hamparan sawah bertingkat.
Tiga belas anak lelaki meloloskan kemeja dan celana, tanpa kolor, dengan kecepatan elang menyambar tikus. Tiga belas tubuh kecil bugil mendamba kesegaran air sungai.
"Mandi!" "Lompat!" "Ciat!" Â "Selam!" "Oi, siapa yang kencing!" "Segar!" "Dingin!" "Burung Si Alogo hitam!" "Hahaha." Â "Jonder tak punya burung!" "Hahaha." "Oi, burung Si Poltak mengintip Berta!" "Hahaha."
Ujaran, teriakan, dan ledekan saling-silang dan tumpang tindih. Tidak jelas siapa mengatakan apa. Tapi jelas tiga belas orang anak bersukacita. Berkecipak, berkejaran, dan saling siram di aliran sungai.
Itulah pesta kenaikan kelas anak-anak desa. Serba alami. Tanpa biaya. Keriangan optimal.
"Sing sing so. Sing sing so." Tiba-tiba Alogo mulai bernyanyi. Lagu Sing Sing So gubahan Boni Siahaan mulai dilantunkan.  Momen yang tak boleh dilewatkan begitu saja.  Alogo itu jago nyanyi.  Berdua Berta, dia adalah solis andalan Sekolah Minggu  HKBP Hutabolon.Â
"Ayo, baris! Duduk semua di depan Si Alogo. Aku paling depan!" Poltak mengatur koreografi.Â
Tigabelas anak lelaki duduk sebaris pada bagian dangkal di median badan sungai. Â Permukaan air menutupi tubuh mereka sampai pinggang. Â Dari jauh mereka tampak seolah-olah naik solu bolon, perahu panjang dan besar. Â
"Sing sing so. Sing sing so. Â Sing sing so." Â Koor dadakan tiga belas anak kecil mengalun di tengah sungai, diiringi kecipak air menabrak bebatuan.Â
"Lugahon!" Â Poltak memberi instruksi dari depan. Â Tangan-tangan kecil serentak bergerak seolah sedang mendayung perahu di sisi kanan. "Tarik Alogo!"Â
"Uee ...
Lugahon ahu da parau
Ullushon ahu da alogo
Tu huta ni da tulang i"Â