Semasa SMA di Toba, Poltak paling takut kepada hantu. Â Padahal dia belum pernah melihat hantu. Hanya mendengar cerita teman-temannya yang mendapat cerita dari teman-temannya. Â Tegasnya, ini adalah hantu menurut "katanya."
Poltak memang selalu berharap agar jangan sampai melihat sosok hantu. Â Dia takut jatuh cinta, semisal hantu itu berupa gadis cantik yang pandai merayu. Ya, siapa tahu memang ada hantu semacam itu.
Suatu hari Poltak kemalaman selepas belajar bersama di rumah Hotman, teman sekelasnya, di kampung Lumbanhoda. Â Itu sebuah kampung pertanian, sekitar tiga kilometer masuk dari jalan raya. Â Poltak sendiri tinggal di desa-kota Paritohan, menumpang di rumah amangborunya. Paritohan berada di tepi jalan raya, sekitar dua kilometer dari simpang Lumbanhoda.
"Wah, gelap kali," kata Poltak sambil mengengkol vespa tua pinjaman dari amangborunya.
"Iyalah. Â Baru bulan sabit ini." Â Hotman menimpali. "Kau tak takut pulang sendiri, kan? Â Hati-hati pas lewat kuburan nanti. Â Jalannya rusak."Â
"Bah. Seram kali. Lewat kuburan."  Poltak membatin, kembut hatinya membayangkan hantu yang tak jelas wujudnya. "Tapi sudahlah.  Tuhanku menemaniku."
Sekitar satu kilometer dari Lumbanhoda ke arah jalan raya, di sebelah kiri jalan, memang ada kuburan warga kampung. Â Daerah kuburan itu sepi, tak ada rumah di dekatnya. Â Jalan desa berstruktur pasir-batu (sirtu) di bagian itu rusak parah. Â Lubang dan batu bergelimpangan di mana-mana. Â Kalau tak hati-hati naik motor di situ, bisa nyungsep masuk lobang, atau terpelanting karena menabrak batu.
Memasuki jalan di daerah pekuburan itu, bulu kuduk Poltak mendadak berdiri macam duri landak. Â Kesiur angin di wajahnya terasa lebih dingin. Tapi dikuatkannya hatinya, sebab Poltak ingat dia adalah anak muda beriman.
Persis di tengah kuburan itu, vespa tua Poltak tiba-tiba berhenti. Padahal mesinnya hidup.  Poltak merasa ada sesuatu yang mencekal besi jok vespanya dari belakang.  Tapi dia tak berani menoleh ke belakang untuk memastikan.  "Hantuuu ... ," teriaknya dalam hati. Keringat dingin mulai mengucur di punggungnya.  Dia merasa bulu kuduknya  sudah copot semua.
Dia memutar gas vespa di setang kanan. Tapi vespa tetap tidak bergerak. Â Kekuatan yang menahannya betul-betul melebihi daya mesin vespa. Â Poltak semakin panik. "Tolong aku, Tuhan!" teriaknya dalam hati.
Tiba-tiba dari jalan kecil di sebelah kanan, seorang laki-laki paruh-baya muncul sambil menyalakan geretan. Â Poltak semakin panik. Tapi laki-laki itu mendekati Poltak dengan tenang. Â
"Ei, Poltak. Jangan dungu kau. Â Vespa kau gas. Tapi remnya kau injak juga. Â Manalah bisa jalan." Â Ah, ternyata lelaki itu adalah Pak Marihot, guru Bahasa Indonesia yang pernah mengajar Poltak sewaktu kelas satu SMA. Sekarang Poltak kelas tiga, gurunya beda.
"Bah! Dungu kalipun aku. Â Mauliate, Pak Guru." Setelah tahu masalahnya, Poltak segera meninggalkan kuburan itu. Â Sementara Pak Marihot meneruskan perjalanannya ke arah Lumbanhoda, tempatnya tinggal.
"Ah, dasar penakutlah kau, Poltak." Â Poltak merutuki diri sendiri setelah tiba di jalan raya. Â Saking takutnya, tak sadar dia telah menginjak rem vespa tuanya dalam-dalam saat melewati jalan rusak tadi. Â "Untung ada Pak Marihot," katanya dalam hati.
"Hah! Pak Marihot, kan sudah meninggal tujuh hari yang lalu. Â Whuaaaaa... ." Â Sontak Poltak memacu vespanya, standing dan terbang. (efte)