"Gurunami!  Polmer sudah bisa menulis halus huruf a."  Poltak lapor, bangga pada Polmer. Ternyata, teman  adalah guru terbaik.
"Bah! Â Hebatlah kau, Poltak. Â Bisa mengajari Si Polmer."
"Aku tak mengajari Polmer, Gurunami. Â Dia meniru caraku."
"Bah! Suka-suka hatimulah, Poltak." Â Guru Barita garuk-garuk kepala. Â "Anak-anak, lihat ke sini. Siapa yang belum bisa menulis halus huruf a, b, c, dan d."
Alogo, Gomgom, Marolop, dan Saur serentak unjuk telunjuk.Â
"Kalian berempat, besok pagi, sebelum masuk kelas, belajar dulu sampai bisa pada Poltak!" Â Tegas perintah Guru Barita. Â Tak seorang murid pun boleh membantah. Â Tidak juga Poltak. Â Walau dia bukan asisten Guru Barita.
Pelajaran menulis halus memang paling menyiksa bagi murid-murid kelas dua.  Tapi itu sangat berguna untuk  melatih anak-anak menghaluskan rasa dan gerak.  Dalam keseharian, murid-murid terbiasa dengan gerak kasar bertenaga.  Semisal menebaskan parang, mengayunkan cangkul, menetakkan kapak, mengangkat air dari pancuran, dan menuntun kerbau.
"Poltak. Â Aku juga mau diajari menulis halus." Â Tak ada angin, tak ada hujan, Berta mendadak minta ikut diajari.
"Berta! Jadi anak perempuan itu jangan tuit, ya.  Kau sudah bisa!"  Guru Barita melotot. Disambut tawa riuh anak-anak kelas dua.  Berta langsung tertunduk, menyumputkan wajah merona merah. Malu dibilang tuit, genit. (Bersambung)   Â