Manggarai Raya itu secara keseluruhan adalah kabupaten-kabupaten termiskin di NTT. Itu artinya petani Manggarai, secara rata-rata, sejatinya adalah petani termiskin di NTT.
Pemerintah setempat dan pengamat bisa saja menyalahkan produktivitas pertanian yang rendah dan harga komoditas perkebunan yang rendah sebagai biang kemiskinan petani.
Tetapi pertanyaannya mengapa produktivitas pertanian dan harga hasil pertanian di Manggarai rendah? Apakah karena kesalahan petani yang iptek pertaniannya terbelakang, atau kesalahan pemerintah yang abai memajukan pertanian rakyat?
Tidak akan ada solusi jika pemerintah dan petani saling menyalahkan. Sebab jika satunya salah dan lainnya benar, maka tidak akan ada implikasi perbaikan kecuali yang benar merasa menang.
Saya pikir petani dan pemerintah daerah harus duduk bersama. Lalu mengevaluasi secara terbuka masalah-masalah pertanian rakyat. Khususnya masalah produktivitas rendah dan harga komoditas yang rendah.
Berdasar itu bisa dirumuskan kebijakan dan program modernisasi pertanian Manggarai sejak dari sektor hulu (saprotan), tengah (on-farm), dan hilir (pengolahan, pasar) sampai sektor pendukungnya (riset dan penyuluhan).
Adalah ironi apablila sektor pariwisata Manggarai akan melejit ke aras "kelas dunia", sementara sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup mayoritas rakyat Manggarai tetap terpuruk di "kelas kampung."
Jika pariwisata "kelas dunia" maka pertanian rakyat juga harus "kelas dunia". Sebab jika tidak begitu, maka ekonomi Manggarai kembali ke masa penjajahan, yaitu ekonomi ganda (dualisme) yang memisahkan dunia pariwisata (kapitalis) yang gemerlap dan kaya-raya dan dunia pertanian (subsisten/komersial) yang kumuh dan miskin.
Kondisi semacam itu adalah cikal-bakal kecemburuan sosial yang dapat memicu konflik sosial berupa "perlawanan petani." Jangan sampai terjadi di Manggarai. (*)