Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Pertanian Manggarai: Subsistensi, Involusi, Dualisme, atau Nafkah Ganda?

16 Maret 2021   13:44 Diperbarui: 21 Juni 2021   06:21 2241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sawah lingko dengan latar belakang perkampungan dan tanaman niaga di perbukitan Manggarai (Foto: kompas.com/markus makur)

Manggarai Raya itu secara keseluruhan adalah kabupaten-kabupaten termiskin di NTT. Itu artinya petani Manggarai, secara rata-rata, sejatinya adalah petani termiskin di NTT.

Pemerintah setempat dan pengamat bisa saja menyalahkan produktivitas pertanian yang rendah dan harga komoditas perkebunan yang rendah sebagai biang kemiskinan petani.

Tetapi pertanyaannya mengapa produktivitas pertanian dan harga hasil pertanian di Manggarai rendah? Apakah karena kesalahan petani yang iptek pertaniannya terbelakang, atau kesalahan pemerintah yang abai memajukan pertanian rakyat?

Tidak akan ada solusi jika pemerintah dan petani saling menyalahkan. Sebab jika satunya salah dan lainnya benar, maka tidak akan ada implikasi perbaikan kecuali yang benar merasa menang.

Saya pikir petani dan pemerintah daerah harus duduk bersama. Lalu mengevaluasi secara terbuka masalah-masalah pertanian rakyat. Khususnya masalah produktivitas rendah dan harga komoditas yang rendah.

Berdasar itu bisa dirumuskan kebijakan dan program modernisasi pertanian Manggarai sejak dari sektor hulu (saprotan), tengah (on-farm), dan hilir (pengolahan, pasar) sampai sektor pendukungnya (riset dan penyuluhan).

Adalah ironi apablila sektor pariwisata Manggarai akan melejit ke aras "kelas dunia", sementara sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup mayoritas rakyat Manggarai tetap terpuruk di "kelas kampung."

Jika pariwisata "kelas dunia" maka pertanian rakyat juga harus "kelas dunia". Sebab jika tidak begitu, maka ekonomi Manggarai kembali ke masa penjajahan, yaitu ekonomi ganda (dualisme) yang memisahkan dunia pariwisata (kapitalis) yang gemerlap dan kaya-raya dan dunia pertanian (subsisten/komersial) yang kumuh dan miskin.

Kondisi semacam itu adalah cikal-bakal kecemburuan sosial yang dapat memicu konflik sosial berupa "perlawanan petani." Jangan sampai terjadi di Manggarai. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun