Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dalam Kultur Batak, Ular Bukan Makhluk Jahat

9 Maret 2021   17:16 Diperbarui: 9 Maret 2021   18:03 2251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggambaran Nagapadoha dalam buku kulit kayu Batak (Foto: pmpsnews.blogspot.com)

Agar terhindar dari bencana tak berkesudahan, maka manusia harus melakukan rekonsiliasi dengan Mulajadi Nabolon dan Tiga Dewata Batak.  Suatu ritual permohonan maaf kepada Mulajadi Nabolon dan Tiga Dewata segera dihelat, lengkap dengan hewan kurban dan sesaji.  Setelah itu, rekonsiliasi dengan tanah dan air: menghentikan tindakan yang bersifat  merusak tanah dan air dihentikan, diikuti upaya pemulihan kondisi tanah dan air.

Jelas bahwa dalam kepercayaan asli orang Batak, ular bukanlah mahluk jahat.  Ular, dalam hal ini direpresentasikan Nagapadoha dan Boru Saniangnaga, adalah dewa/dewi kecil yang bertgas mengingatkan manusia, manakala ulah manusia merusak harmoni relasi manusia dengan tanah dan airnya.

***

Lalu dari mana datangnya ugkapan manguloki dan lae-lae ulok?  Jelas bukan dari ajaran agama asli orang Batak Toba.  Sebab dalam agama asli itu, ular tak dipersepsikan sebagai mahluk jahat, licik, iblisi.  Ular adalah pemberi peringatan pada manusia.

Tak bisa lain, persepsi ular sebagai mahluk iblisi licik datang dari ajaran agama Kristiani.  Karena itu tahun 1864, tahun pertama Apostel I. L. Nommensen (Zendeling Jerman) berkarya di Tanah Batak, tepatnya di Tarutung, boleh dibilang sebagai tahun awal meresapnya persepsi ular sebagai mahluk jahat ke dalam keyakinan dan kultur Batak.  

Pada Buku Kejadian dalam Perjanjian Lama, dikisahkan bahwa ular telah meliciki Adam dan Hawa agar makan buah "Pengetahuan Yang Baik dan Buruk", sehingga kedua orang manusia pertama itu diusir dari Taman Eden.  Sejak itu terjadilah permusuhan antara manusia dan ular. Ular dipersepsikan sebagai mahluk jahat, licik, representasi iblis.

Tentu saya tak hendak menyalahkan agama Kristiani karena telah mengajarkan persepsi buruk tentang ular kepada masyarakat Batak.  Setiap agama memiliki simbol-simbol imani sendiri yang mungkin bertentangan dengan agama lainnya.  Hal semacam itu bisa terjadi karena setiap agama punya latar budaya pembentukan dan pertumbuhan yang beda satu sama lain.  Jadi kontradiksi adalah gejala yang sah-sah saja secara sosiologis ataupun antropologis.

Masyarakat Batak sendiri kini hidup dengan dua pemahaman simbolik tentang ular.  Di satu sisi, berdasar iman Kristiani, ular dipahami sebagai simbol kejahatan, iblis.  Di lain sisi, berdasar kultur asli atau Habatahon (Kebatakan), ular dipahami sebagai mahluk baik, pemberi peringatan akan kesalahan manusia.  

Memang terkesan sebagai kontradiksi.  Tapi begitulah orang Batak Toba.  Mereka menjunjung agamanya (Kristiani) sambil tetap menggendong kulturnya (Habatahon).  Agama, memang, tak mesti menghilangkan kultur.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun