Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Indonesia Butuh Kritikmeter dan Kritikologi

11 Februari 2021   08:18 Diperbarui: 11 Februari 2021   17:45 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi minta kritik pedas (Foto: indonesiatimes.co.id)

Ri: "Legitimasi? Apaan, tuh."

Ra: "Sesuatu yang legit, manis, yang membuat seseorang bisa bertahan di kursi kekuasaan. Kira-kira, gitu, deh. Lanjut, ya. Nah, kalo tukang kripik aja bisa bikin sambalmeter, penentu level kepedasan, mosok sih jago-jago program komputer Indonesia gak bisa bikin aplikasi kritikmeter? Indonesia butuh banget, lho."

Ri: "Wah, ide genius dan genuin. Menarik. Loe jadi cakep kalau cerdas. Udaah, cuping idung loe gak usah dikembang-kempotin segala, gitu. Trus, gimana detailnya."

Ra: "Gue gak ngerti detailnya, Ri. Gue kan bukan ahli komputer. Tapi idenya gini. Kan di bareskrim kepolisian itu banyak berkas kasus hukum kritik pada penguasa. Nah, tinggal diolah datanya, mana yang bebas, mana yang ditahan, mana yang masuk pengadilan, dan mana yang masuk penjara. Nah, itu data kata atau kalimat kritik dikoding atau diapakan gitu. Ntar ketemu, deh, level kepedasan kritik. Lalu dimatriks dengan akibat hukumnya."

Ri: "Wah, hebat. Guna banget itu untuk manusia Indonesia yang mulutnya pedes, suka nyinyir, doyan kritik."

Ra: "Itu maksudnya, Ri. Kalau ada aplikasi kritikmeter, kan setiap orang bisa ngukur dulu level kepedasan kritiknya sebelum disemburkan. Ini modelnya macam aplikasi deteksi plagiat, gitu. Level satu sampai dua misalnya aman. Tiga sampai empat dirisak warganet pendengung. Lima sampai enam direspon polisi, tapi gak ditangkap, gitu. Tujuh sampai lapan, dipanggil dan diperiksa polisi. Sembilan sampai sepuluh, kena pasal loe, masuk pengadilan."

Ri: "Wah, bisa-bisa Indonesia sepi kritik, dong. Kan orang Indonesia, kalau ngritik, mainnya level enam ke atas. Padahal kritik itu kan aset pembangunan?"

Ra: "Nah, itu memang perlu solusi, ya. Gue sih sarankan ke Mas Nadiem, Mendikbud enerjik dan kreatif itu untuk mengembangkan cabang ilmu Kritikologi. Jangan kalahlah sama Om Jaya Suprana, pengembang ilmu Kelirumologi.

Ri: "Bentar. Kritikologi?"

Ra: "Ya, Kritikologi. Ilmu tentang kritik. Di Fakultas Sastra dan Sekolah Kesenian topik kritik itu diajarkan, lho.  Jadi gak mustahillah ngembangin ilmu Kritikologi.  Nah, Kritikologi itu harus diajarkan sejak SD. Targetnya, merdeka mengritik, merdeka dari sprindik. Gitu, Ri. Solusi cerdas, kan? Tatapan loe, kok beda, Ri. Loe naksir gue, ya."

Ri: "Ih, jijay baday. Nehy layau. Baru juga sekali tampil di TVLokcan, ude batungkik, loe. Ular model loe itu ngamprak di kolong jembatan Thamrin sana, tauk."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun