Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rakyat Indonesia, Jangan Takut Mengritik Penguasa

9 Februari 2021   16:27 Diperbarui: 10 Februari 2021   11:16 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari daylinewsindonesia.com

***

Jika sebuah negara diklaim sebagai negara demokratis, tapi penguasanya takut dikritik dan rakyatnya takut mengritik, maka klaim demokrasi itu adalah kebohongan besar.  Sejatinya negara semacam itu adalah negara diktatorial, totaliter, atau mungkin despotis.

Apakah perilaku penguasa  Indonesia hari ini seperti itu? Bukan satu atau dua kali Presiden Jokowi membuka diri kepada kritik, dari siapa pun, dengan syarat ada dasar fakta atau data yang valid dan relevan. [2]  Bukan asal ngomong, semisal "pemerintah mengkriminalisasi ulama,"  "pemerintah menyudutkan Islam," "pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang penurunan pandemi Covid-19,"  "presiden melestarikan politik dinasti," "polisi, jaksa, dan KPK tebang pilih kasus hukum," dan "pemerintah tunduk pada kepentingan negara Cina."

Barangkali ada kebenaran pada pernyataan-pernyataan seperti itu. Tapi, jika pernyataan itu tak didukung oleh bukti berupa fakta atau data yang memadai, maka nilai kebenaran itu menjadi nihil. Jika nilai kebenaran pada suatu pernyataan nihil, maka dia bukanlah sebuah kritik, melainkan pernyataan sembarang.  Salah-salah bisa terpeleset menjadi hoaks atau fitnah, tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Tapi, sejauh ini, tidak ada warga masyarakat yang diadukan kepada polisi, atau ditangkap polisi, hanya gara-gara melontarkan ujaran-ujaran tanpa dasar seperti di atas.  Pernyataan semacam itu masih bisa dimaklumi, sekurangnya jika merujuk erti kritik menurut KBBI daring.

Tapi kalau ada pernyataan "penggal kepala presiden,"  "presiden dungu,"  "presiden PKI," "bunuh polisi dan tentara,"  dan lain-lain senada, apakah definisi kritik masih bisa dikenakan?  Jelas tidak! Itu sudah masuk ranah ancaman, fitnah, penghinaan, kebencian, dan provokasi.  Jika karena ujaran semacam itu ada warga yang ditahan polisi, dan memang ada kasusnya, maka dia ditahan bukan karena melontarkan kritik.  Alasan ajaran iman, atau ayat Kitab Suci,  tidak bisa diajukan sebagai pembenaran untuk ujaran-ujaran semacam itu.

Tentu ada perkecualian.  Jika pernyataan semacam itu disampaikan dalam alur logika deduktif, maka sangat mungkin bebas dari tangan polisi.  Hal itu misalnya terjadi pada sejumlah pernyataan Rocky Gerung, sebagai contoh.  Dia bisa mengatakan "tindakan presiden dungu," sebagai sebuah kesimpulan yang dialas oleh sejumlah premis.[3]  Sejauh bisa dibuktikan kelurusan logikanya, maka pernyataan semacam itu mesti bebas dari tuntutan hukum.  Sebab seseorang tidak bisa dihukum karena berpikir logis.

Hal serupa berlaku juga untuk ujaran Din Syamsudin yang mengutip teori politik Islam tentang pemakzulan dari Al-Mawardi, untuk menegaskan alasan untuk boleh memakzulkan seorang presiden.[4]  Walaupun, misalnya, implisit yang disasar adalah Presiden Jokowi, Din tidak bisa dituntut karena dia hanya merujuk pada suatu teori ilmiah. Bukan melakukan provokasi terbuka untuk menggulingkan Jokowi.

Saya sendiri sebenarnya, pada sejumlah artikel, baik di media massa tercetak maupun di media online blog, kerap menuliskan kritik terhadap   kebijakan dan program pembangunan pertanian yang dijalankan Pemerintahan Jokowi.  Tapi jelas dasarnya, data atau fakta empiris. Sejauh berdasar data atau fakta, bukan karangan atau halusinasi, maka tidak ada alasan untuk takut menyampaikan kritik.  Kritik adalah wujud partisipasi politik terbaik yang bisa dilakukan warga masyarakat.

***

Jika seorang pengritik  bilang takut atau tak nyaman melontarkan kritik kepada penguasa Indonesia hari ini, karena takut akan berurusan dengan pihak berwajib, maka dia harus bertanya serius pada diri sendiri, "Apakah benar saya sedang menyampaikan kritik?"  atau, "Apakah pernyataan saya bukan fitnah, provokasi, penistaan, atau hoaks?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun