"Bagus." Polmer sumringah. Poltak mengintip lubang hidungnya. Aman, tidak ada ingus mengancam di sana.
Begitulah, hari pertama sekolah dilalui dengan belajar lipat tangan, tata-tertib belajar, dan  menyanyi sambil membilang angka satu sampai sepuluh. Cara lipat tangan, tata-tertib, dan nyanyian itu, bagi Poltak, adalah pengetahuan baru. Bilangan satu sampai sepuluh, dia sudah hafal.
Poltak pulang dari sekolah dengan hati gembira. Tapi dia bukan lagi Spartakus. Sepatunya dilepas dan ditenteng sepanjang perjalanan pulang ke Panatapan. Kedua tumit kakinya menderita luka akibat gesekan dengan sepatu Spartakus itu.
"Bagusnya, sepatumu itu kau tukarkan saja dengan es ganefo." Binsar menggodai Poltak. Â
Ada kalanya seorang tukang barang bekas dari Siantar datang ke Panatapan dan kampung-kampung sekitarnya. Dia mengumpulkan barang aluminium dan plastik rusak dengan tukaran es ganefo.Â
Kehadiran orang Siantar itu sebenarnya solusi barang rusak, tapi juga terkadang bikin masalah. Sebab sering anak-anak mengembat sandal plastik milik orangtuanya demi sepotong dua potong es ganefo. Â Â
Digodai Binsar, Poltak diam seakan tak perduli. "Usul Si Binsar cantik juga," Â dia membathin. "Panas-panas begini, nikmat kalilah mengemut es ganefo," bayangnya.
"Es ganefo tukar selop! Â Es ganefo tukar selop!" Tiba-tiba terdengar teriakan yang akrab di telinga anak-anak Panatapan dan sekitarnya. Â
"Poltak!" Binsar dan Bistok kompak berteriak sambil memelototi sepatu Spartakus di tangan Poltak. (Bersambung)
Â