Dari membaca artikel-artikel pengenalan etnis itu, saya terkesima menemukan adanya sejumlah kemiripan struktur dan kultur antar-etnis. Â Sebut misalnya kemiripan antara etnis Batak, Dayak Desa, dan Manggarai dalam sejumlah ritus adat. Semisal ritus awal musim tanam dan panen padi. Juga fungsi babi dan tuak sebagai ternak dan minuman adat. Â
Apa implikasi pengetahuan akan kemiripan etnisitas semacam itu?  Dulu saya memahami Batak Sumatra, Dayak Kalimantan, dan Manggarai NTT adalah etnis-enis yang sepenuhnya  berbeda. Mereka hanya diikat menjadi satu oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam wadah NKRI.Â
Tapi kini pengetahuan atas berbagai kemiripan itu mengantar saya kepada pemahaman bahwa integrasi antar-etnik tidak melulu karena ikatan politik. Melainkan juga karena adanya relatif persamaan antar beragam etnik di nusantara. Â
Jika persamaan-persamaan antar etnis itu dimunculkan ke permukaaan, sambil menghargai perbedaan sebagai kekayaan, niscaya solidaritas antar etnik akan menguat di bumi Indonesia ini.Â
Celakanya, kini para politisi justru cenderung mengangkat perbedaan etnis sebagai modal politik, demi birahi kekuasaan. Itu membuat kadar solidaritas sosial antar kelompok etnis dalam masyarakat bangsa ini semakin menipis.
Saya tidak tahu apakah Admin Kompasiana, atau Grup KG, menyadari potensi Kompasiana sebagai wahana pengenalan dan komunikasi antar-etnis atau lintas-etnis.  Andai pun belum sadar, baik kiranya  diterima fakta bahwa hal itu kini sedang terjadi di Kompasiana.  Itu artinya Kompasiana, sengaja atau tidak, telah menyumbang terhadap upaya-upaya peningkatan komunikasi dan solidaritas sosial antar-etnis di Indonesia.
Tentu saya tidak bisa memaksakan keinginan di sini. Tapi sejujurnya saya sangat berharap semakin banyak rekan Kompasianer yang bermurah hati untuk memperkenalkan etnisnya lewat artikel-artikel di Kompasiana. Â Bagi saya, seperti apa pun mutu artikel-artikel itu, nilainya tetaplah sama semua, yaitu sebagai informasi berharga tentang suatu etnis, langsung dari tangan orang dalam.
Baca juga: Jejak Kebhinekaan dalam Sejarah Pemukiman Swapraja Etnis Bolaang Mongondow
Bagaimana pun, memperkenalkan etnis bukanlah mengagungkan kesukuan, melainkan membuka komunikasi dengan etnis lain, demi menguatnya solidaritas dan integrasi sosial bangsa ini.
Etnis, seperti halnya seks dan akal budi, bukan pilihan melainkan karunia. Galibnya karunia, hakekatnya kebaikan. Jadi, mengapa kita tidak saling berbagi karunia demi kebaikan bersama sebagai sebuah bangsa?
Demikianlah. Â Selamat Ulang tahun ke-12 Kompasiana. Â Usia 12 tahun dikau sudah menyumbang terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.(*)