Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggalang Perkenalan Antar Etnis di Kompasiana

23 Oktober 2020   17:21 Diperbarui: 28 Mei 2021   07:40 1417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi etnis Dayak (Foto: kemendikbud.go.id)

Mengenal etnis lokal dari perspektif orang dalam. Itu satu fungsi manifes Kompasiana yang, mungkin, tidak dimiliki blog  atau media manapun. Sekaligus, menjadi pembeda untuk blog keroyokan ini.

Salah satu bentuk kemiskinan sosial yang disandang bangsa ini, saya pikir, adalah rendahnya pengenalan terhadap etnis-etnis di luar etnisnya sendiri. Mungkin pengenalannya hanya sedangkal stereotipe yang menyesatkan.  Semacam Jawa lemah, Batak kasar, Padang pelit, Menado boros, dan sebagainya.  

Selain menyesatkan, stereotipe semacam itu menimbulkan persepsi negatif tentang etnis lain. Secara tidak langsung berarti menilai etnis sendiri baik, sedangkan etnis lain buruk.  Itulah, etnosentrisme, salah satu akar disintegrasi bangsa. Penyebab rendahnya kadar solidaritas antar-etnis di negeri ini.  

Baca juga: Roti Buaya dan Stereotip Etnis di Indonesia

Saya memerlukan waktu beberapa tahun ke belakang, terhitung dari 2014, untuk menyadari fungsi mulia Kompasiana ini.  Sampai saya kemudian terpikir, mengapa tidak memperkenalkan etnis Batak melalui blog ini, menurut perspektif orang dalam.  Orang dalam itu saya sendiri.

Itu motif saya menulis artikel-artikel seputar masyarakat Batak Toba, yang saya bungkus dalam kemasan Batakologi.  Sebagai orang dalam, saya mengambil sikap anti-sauvinis, pengagungan berlebih terhadap etnis Batak. Sebab sikap sauvinis itu menyesatkan.  Tidak membuahkan penjelasan dan pemahaman kritis tentang etnis sendiri.

Jika diperhatikan dengan sedikit seksama, maka segera akan terlihat artikel-artikel saya tentang etnis Batak mencoba memberikan analisis kritis. Saya menolak untuk memaparkan apa adanya, atau apa menurut pandangan umum. Saya selalu berusaha mengungkap makna di balik fakta, lalu menilai relevansinya ke masa kini.

Pendekatan anti-sauvinis itu menyebabkan analisis saya kerap berbeda, bahkan bertentangan, dengan pandangan umum tentang Batak Toba.  Itu bagus. Sebab perspektif orang dalam tidak wajib melihat etnisnya secara apa adanya, tetapi mestinya bisa bersikap kritis.  Adat dan budaya Batak bukan untuk dipreservasi, melainkan untuk dikembangkan guna menjawab tuntutan perubahan zaman.

Saya sangat bergembira karena ternyata tidak sendirian mengenalkan etnisitas dari perspektif orang dalam. Belakangan saya menemukan sejumlah rekan Kompasianer yang,  secara konsisten, juga memperkenalkan etnisnya lewat Kompasiana.   

Ijinkan saya menyebut sejumlah nama.  Guido yang rajin memperkenalkan etnis Manggarai, NTT.  Neno Salukh dan Maximus Malaof yang telaten memperkenalkan etnis Dawan, Timor. Gregorius Nyaming yang konsisten memperkenalkan etnis Dayak Desa, Kalimantan. I Ketut Suweca memperkenalkan etnis Bali. Suprihati memperkenalkan etnis Jawa, khysusnya Jawa Tengah. Mbah Ukik memperkenalkan sub-etnik Jawa di sekitaran lereng Bromo, Jawa Timur. 

Baca juga: Kompasiana Sebagai Wadah Komunikasi Lintas Etnis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun