Baru beberapa helaan nafas tiba di puncak bukit, Poltak dikagetkan kedatangan Binsar dan Bistok yang juga berurai air mata. Sama seperti Poltak, mereka juga kena sabetan batahi dari bapak masing-masing di pantatnya. Â
Di Panatapan, begitulah hukuman bagi anak gembala  yang lalai dalam tugasnya.  Itu sudah menjadi tradisi. Tidak ada yang pernah menggugat keadilannya. Lagi pula, itu sesuai dengan prinsip orang dewasa di Panatapan: apa pun masalah anak kecil, batahi solusinya.
"Habislah pantatku ini," ratap Poltak sambil memlorotkan celana pendeknya, memamerkan pantatnya yang bebirat merah bekas kena sabetan batahi. Â
"Aku juga," kata Binsar, lalu ikut memamerkan pantat bebirat merahnya. Â
"Kita senasiblah," ratap Bistok, tak mau kalah. Dipamerkannya pula pantatnya yang bebirat merah itu.
Begitulah, di puncak bukit Partalinsiran, disaksikan matahari senja di lembayung langit barat, tiga anak saling pamer pantat bebirat merah, tanda derita yang sama di antara mereka. Â
Hal itu terjadi untuk menggenapi Perjanjian Hariara Hapuloan. Â Sebab Poltak, Binsar dan Bistok sudah berjanji akan sada parsorion, satu derita. Â
"Poltak! Makan! Puyuh panggangnya enak!" Terdengar teriakan panggilan makan sore dari nenek Poltak di bawah bukit.
Poltak tersentak. Saling-pandang dengan Binsar dan Bistok, isyarat minta pendapat dari kedua temannya itu. Tapi keduanya diam seribu bahasa.
"Aku turunlah," putus Poltak akhirnya. Perlahan dia melangkah, ragu, menuruni lereng bukit.
"Poltak! Kau yakin akan dapat puyuh panggang di bawah sana? Bukan batahi?" Tiba-tiba Binsar berseru mengingatkan.