"Mana bisa, Amangtua. Â Anak kerbau kami merumput di Holbung situ," bantah Poltak.Â
Menurut hitungan generasi, Ama Ringkot itu terbilang amangtua, bapak tua, bagi Poltak. Bagu Binsar dan Bistok, dia terbilang abang.
"Bah! Berbantah pula kau!" Ama Ringkot melotot mendengus keras. Â
Samar-samar, Â bau nafasnya menerpa hidung mungil ketiga anak malang itu. Ketiganya undur dua tindak.
"Ompungmu, Poltak! Bapakmu, Binsar! Abangmu, Bistok! Â Mereka saksinya. Tadi kami lihat sama-sama dari atas Namaloha sana!" Â
Ama Ringkot memastikan, sambil menunjuk ke arah pinggang Gunung Simarnaung, di sebelah utara Holbung.Â
Namaloha adalah sebuah titik lokasi longsor, tepat di tepi jalan panglong. Â Dari titik itu, Holbung dan seluruh wilayah sekitarnya terlihat telanjang di bawah. Bahkan perairan selatan Danau Toba juga tampak berkilau di kejauhan. Â
"Kami sudah teriak-teriak dari atas sana tadi. Mau kasih tahu. Tapi dasar kalian bodat tuli. Sibuk berlarian ke sana ke mari," lanjut Ama Ringkot.
Lemas sudah tubuh Poltak, Binsar dan Bistok. Â Tadi, subuh, ompung Si Poltak, bapak Si Binsar dan abang Si Bistok serta beberapa orang lagi, termasuk Ama Ringkot, memang pergi mencari rotan ke hutan Gunung Simarnaung.
Duduk perkaranya jelas sudah. Tadi, Â sewaktu tiga sekawan itu asyik berburu puyuh, Â diam-diam anak-anak kerbau mereka rupanya melancong ke ladang Ama Ringkot, di balik bukit. Di sana mereka melalap rumpun padi gogo muda sebagai sarapan pagi. Setelah kenyang, diam-diam juga, mereka kembali lagi ke Holbung.
"Pasti anak kerbau kalian, Binsar, Bistok, yang mengajak anak kerbauku ke sana!" Poltak menyalahkan anak kerbau milik teman-temannya.