Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Khrisna Pabichara dan Teror Kritik Paragraf Pembuka

12 September 2020   15:29 Diperbarui: 13 September 2020   07:34 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari zenius.net

Suatu kritik adalah teror yang mencerdaskan. Dikatakan teror karena, pada dasarnya, orang lazimnya takut mendapat kritik. Mencerdaskan karena kritik pada hakikatnya menunjukkan kekurangan sekaligus memberikan solusi perbaikan.

Sedemikian takutnya orang kepada kritik sehingga diciptakanlah istilah "masukan" (input) sebagai padanannya. Itu padanan yang salah kaprah sebab konsep masukan menunjuk pada faktor yang ditambahkan pada suatu proses produksi. Dalam konteks proses produksi  artikel,  masukan antara lain adalah gagasan dan data tambahan yang mendukung  data dan gagasan utama.  

Istilah masukan dengan demikian sebenarnya membunuh hakikat kritik.  Dalam konteks penulisan artikel, dia  tidak menunjukkan kekurangan secara tegas. Melainkan hanya memberikan saran yang, jika diterima, mungkin bisa memperbaiki mutu artikel.  

Jika suatu kritik dikatakan bersifat mencerdaskan, maka dia sebenarnya mencerdaskan orang yang cerdas. Terdengar aneh tapi masuk akal. Sebab dalam konteks tulis-menulis, hanya orang cerdas yang mampu menulis secara cerdas. 

Indikasi minimalnya adalah ide pokok yang jelas dan struktur kalimat, paragraf serta tubuh tulisan yang sistematis.  Itu syarat minimal aspek logika. Hanya tulisan yang memenuhi syarat minimal itu yang mungkin dikritik.  

Sebagai ilustrasi, pada suatu hari di tahun 1989, Pak Arief Budiman (alm.) mengembalikan makalah-makalah ringkas, tugas kuliah, kepada kami, mahasiswanya. Sebagian makalah itu bersih tanpa coretan, tanpa nilai. Sebagian lagi penuh coretan, dengan nilai bervariasi dari 70 sampai 90. 

"Saya hanya bisa mengritik dan menilai makalah yang jelas idenya dan sistematis penyajiannya," jawab Pak Arief, saat mahasiswa yang makalahnya "bersih" protes. Kelak saya paham, memberi nilai maksimal 50 pada makalah-makalah "bersih" itu sama artinya dengan perisakan.

Dalam konteks tulis-menulis, merisak dan mengritik itu dua hal yang berbeda. Merisak bersifat personal, ditujukan pada orangnya, bukan tulisannya. Mengritik  itu bersifat impersonal, ditujukan pada tulisannya, bukan orangnya.

Satu hal yang pasti, jika suatu kritik dilancarkan kepada sebuah tulisan, maka itu penanda tulisan itu bagus. Bagus dalam arti sekurangnya ada ide jelas yang disajikan secara sistematis. 

Karena itu, walaupun menakutkan, berbahagialah Anda yang tulisannya mendapat kritik. Karena Anda telah menusis dengan bagus, pertanda Anda orang yang cerdas dan akan bertambah cerdas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun