Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Batak Kini Lembut Hati?

12 Juli 2020   20:12 Diperbarui: 12 Juli 2020   21:11 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Batak itu, oleh zending Jerman dan kemudian penjajah Belanda tahun 1800-an,  secara pejoratif diartikan "pengembara, penyamun". Pokoknya Batak dimaknai sebagai orang pedalaman yang liar, tak berbudaya, sehingga harus dijinakkan, diadabkan.

Caranya? Ya, melalui Kristenisasi, konversi paganisme Batak ke agama samawi oleh zending.  Lalu, kemudian, lewat penjajahan Belanda, mengubah sistem pemerintahan asli "tanpa negara" Batak menjadi birokrasi pemerintah Kolonial. Itulah yang disebut koalisi injil dan bedil.

Orang Batak (Toba) kemudian memang menjadi tertata rapih secara sosial, di bawah pengaturan organisasi Gereja Protestan dan birokrasi pemerintahan legal-formal.  Itu kurang lebih seperti masyarakat pedesaan Belanda dan atau Jerman.  

Tapi stigma yang disematkan orang-orang Bule itu, bahwa Batak itu "liar tanpa adab", keras hati dan kepala, tak dengan sendirinya lekang.  Malahan stigma "Batak itu keras" kemudian diterima sebagai stereotipe, citra penciri sosial. Bangga pula dengan citra itu. Padahal citra semacam itu jauh banget dari arti kata Batak yang sebenarnya: Penunggang Kuda.

Begitulah.  Batak kemudian dicitrakan dan dipahami sebagai "orang keras." Sehingga timbul ujaran pejoratif, "Orang Batak itu keras." Ditambah praduga mengada-ada, "Mungkin karena makan daging B1 dan B2, ya."  

Tapi benarkah orang Batak identik dengan sifat "keras"?  Masa, sih, setelah sekitar seabad sejak invasi Belanda tak ada perrubahan karakter sosial Batak? Ini pertanyaan menarik untuk dibahas.  

***
Memberi komentar atas artikel saya, "Hei Admin K, Loe Bisa Gak Nulis Artikel! (K.9.7.20), rekan Kompasianer Gurgur Manurung menilai isi artikel itu "terlalu keras".  Bisa bikin para Kompasianer pemula susah bangkit, katanya.

Secara bergurau saya menanggapi, "Kalau orang Medan sudah bilang artikel ini keras berarti memang benar keras." Sambil menambahkan bahwa kiritik saya dulu untuk Admin K ada yang jauh lebih keras lagi.

Tak urung saya membathin juga, "Apakah orang Batak masa kini perasaannya sudah lebih halus? Tidak lagi keras dan kasar?"  Sebab yang ngomong itu seorang Gurgur Manurung, seorang putra Batak Toba yang lahir dan besar di Tanah Batak sana.

Respon rekan Gurgur (Bah. Ind, mendidih, membara) menuntun saya pada ingatan tentang kisah Poltak awal 1990-an.  Setelah 10 tahun merantau sekolah dan kerja di Jawa, Barat dan Tengah, dia pulang kampung ke Panatapan Tanah Batak untuk pertama kalinya.

Pada hari kedua pulang kampung, di waktu sore,  dia pamit pada ibunya untuk cengkerama ke lapo tuak Ama Lamhot, langganannya dulu. Tapi belum genap satu jam lamanya, Poltak sudah kembali ke rumah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun