Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Nikah Semarga Terlarang dalam Masyarakat Batak?

26 Mei 2020   14:16 Diperbarui: 28 Mei 2020   14:15 9152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi pengantin Batak (Foto: pariwisatasumut.net/@chickojerico)

Struktur ini sudah didirikan sejak generasi awal orang Batak, yaitu sejak dua belahan sosial Batak terbentuk yaitu Belahan Lontung (keturunan Tateabulan/Ilontungon/Simarata) dan Belahan Sumba (keturunan Isumbaon). Dua kelompok ini diperkirakan terbentuk pada tahun 1000-an.

Berdasar sejarah genealogis orang Batak, secara tradisi Belahan Lontung adalah pihak marga-marga pengambilan isteri bagi pihak marga-marga Belahan Sumba. Artinya Lontung adalah hulahula bagi Sumba yang otomatis berstatus boru.

Dinasti Sisingamangaraja, marga Sinambela dari Belahan Sumba, dapat menjadi contoh klasik di sini. Sisingamangaraja I sampai XI seluruhnya mengambil isteri dari marga Belahan Lontung, terutama Situmorang. 

Perkecualian baru terjadi pada Sisingamangaraja XII yang, karena kepentingan politik penyatuan dua belahan itu menjadi "Kerajaan Batak", mengambil isteri baik dari Lontung (Situmorang, Sagala,Siregar, Berutu) maupun Sumba (Simanjuntak dan Nadeak).

Secara keseluruhan bisa dikatakan Situmorang-Lontung adalah hulahula bagi Sisingamangaraja Sinambela-Sumba yang berada di posisi boru.

Dalam masyarakat Batak berlaku suatu norma: "Tuat sian na dolok martungkothon sialagundi; Na pinungka ni parjolo diihuthon na parpudi". Artinya: "Turun dari bukit bertongkat kayu legundi; Tradisi leluhur dilanjutkan keturunannya."

Begitulah. Tradisi satu marga/rumpun marga hulahula utama, disebut mataniari (matahari), untuk satu marga/rumpun marga boru tetap diikuti hingga kini. Atau sekurang-kurangnya diakui secara adat, walau dalam prakteknya tidak selalu diikuti secara kaku.

Hal terakhir ini maksudnya pasangan marga hulahula dan marga boru tidak harus menjadi pemetaan "satu-satu" sepanjang masa. Jadi laki-laki keturunan Sisingamangaraja tidak wajib selamanya mengambil marga Situmorang-Lontung sebagai isteri. Bisa juga dari marga Sumba, seperti dilakukan Sisibgamangaraja XII. 

Intinya, pernikahan antara dua sejoli itu harus perkawinan beda marga. Atau dua sejoli beda rumpun marga, dalam hal ada larangan perkawinan antar marga serumpun, seperti kasus Parna tadi.

Tujuan larangan nikah semarga itu adalah untuk pemeliharaan dan kelestarian tatanan atau struktur Dalihan Natolu dalam masyarakat adat Batak. Misalkan ada pernikahan pemuda dan pemudi sama-sama bermarga Sinaga, maka status hulahula dan boru tidak bisa ditentukan. Sebab perkawinan itu terjadi antara orang- orang semarga. Hulahula dan boru selalu bermarga beda.

Pada contoh itu tidak mungkin Sinaga menjadi hulahula dari Sinaga. Atau sebaliknya Sinaga menjadi boru untuk Sinaga. Hubungan Sinaga dan Sinaga selamanya adalah dongan tubu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun