Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gagalnya Pembentukan Kesultanan Simarata di Tanah Batak

20 April 2020   09:20 Diperbarui: 20 April 2020   12:15 2571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tribun Medan/Silfa Humairah | Gunung Pusuk Buhit.

Ketiadaan dukungan signifikan dari Ompu Paltiraja, pendeta raja bius Urat dan Jonggimanaor, pendeta raja bius Limbong Sagala dalam Perang Batak adalah konsekuensi resistensi keduanya terhadap gagasan “Kerajaan Batak” yang diinisiasi Sisingamangaraja XII.

Gagasan itu akan menempatkan Sisingamangaraja XII sebagai Dewaraja yang berkedudukan di bius Bakkara. Bagi Paltiraja dan Jonggimanaor itu adalah ancaman kedaulatan. 

Mereka menolak hegemoni Sisingamangaraja karena tidak mau bernasib sama seperti bius Baligeraja yang eksistensinya melemah akibat disubordinasi Sisingamangaraja.

Paltiraja dan Jonggimanaor menilai status mereka setara dengan Sisingamangaraja. Karena itu mereka menolak gagasan “Kerajaan Batak” yang menempatkan Sisingamangaraja sebagai Dewaraja di atas posisi mereka sebagai pendeta raja.

Penjajahan Belanda yang memicu perlawanan Sisingamangaraja XII telah menjadi semacam “lonceng penyelamat” bagi Bius Urat dan Bius Limbong Sagala. Ompu Paltiraja di Samosir selatan, wilayah Lontung, mengambil posisi netral dalam Perang Batak.

Jonggimanaor di lembah Limbong Sagala, wilayah Simarata, juga bersikap netral. Atau mungkin sedikit “mendukung” Belanda? Sebab dia ikut memberi informasi terkait jalur gerilya rombongan Sisingamangaraja XII kepada pasukan Belanda yang melakukan pengejaran.

Ketika Sisingamangaraja XII tewas tertembak pasukan Belanda tahun 1907, untuk sesaat Ompu Paltiraja dan Jonggimanaor terbebas dari “ancaman” subordinasi “Kerajaan Batak”. Apalagi Raja Boental, putra Sisingamangaraja XII yang menjadi calon pewaris gelar Sisingamangaraja XIII, kemudian diasingkan Belanda ke Batavia tahun 1917.

Tapi tahun 1928 bertiup “angin politik” baru. Pemerintah Kolonial Belanda berencana memulangkan Raja Boental ke Tanah Batak, menyusul kelulusannya dari studi di Batavia. 

Rencana itu langsung  disambut dua aspirasi yang berseberangan dalam masyarakat Batak Toba. Di satu pihak, pada Belahan Sumba, tumbuh aspirasi menabalkan Raja Boental sebagai “Raja Batak”, melanjutkan cita-cita Sisingamangaraja XII.

Di lain pihak, pada Belahan Tateabulan, yaitu Siraja Lontung (Urat) dan Simarata (Limbong Sagala) timbul kembali resistensi lama, penolakan pada gagasan “Kerahaan Batak” yang menegakkan hegemoni Sisingamangaraja atas Paltiraja dan Jonggimanaor.

Berbeda dengan Paltiraja (Lontung) yang mengambil sikap “diam waspada”, Jonggimanaor (Simarata) langsung bersiasat untuk “terbebas dari Kerajaan Batak”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun