Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

11 Tahun E-Demokrasi bersama Kompasiana

18 November 2019   14:21 Diperbarui: 19 November 2019   06:04 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi dari eu-logos.com

Sebelas tahun yang lalu, demokrasi adalah barang mewah untuk warga kebanyakan di Indonesia.  

Sampai 22 November 2008, tanggal   Kompasiana resmi diluncurkan sebagai blog sosial (publik), warga Indonesia umumnya hanya menjalankan hak demokrasinya sekali dalam lima tahun. Dengan cara memberikan "suara" di bilik Pemilihan Umum.  

Tentu ada kelompok kecil warga yang sedikit lebih baik dari itu.  Ikut demonstrasi di jalanan atau gedung parlemen untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.  Lazimnya mereka adalah mahasiswa, buruh, dan anggota organisasi kemasyarakatan  tertentu.  

Tapi secara keseluruhan boleh dikatakan kehidupan demokrasi bagi warga kebanyakan di Indonesia terhenti di ujung jalan buntu.

Kompasiana kemudian datang mendobrak kebuntuan jalan demokrasi itu.  Dia memberi ruang pada warga kebanyakan menyuarakan pendapatnya ke ruang publik.  Dalam bahasa tulis yang bebas tapi bertanggungjawab.

Sejak 22 November 2008 itu, setiap warga yang melek internet, dapat melepas kehendak  dan menyuarakan pikiran politiknya.  Mereka dapat menyuarakan misalnya siapa tokoh nasional   yang layak dipilih menjadi Presiden RI. Atau menunjukkan  kelemahan kebijakan presiden berkuasa yang perlu diperbaiki.

Mereka juga dapat menyampaikan kritik dan masukan terhadap lembaga dan organisasi negara. Misalnya kepada DPR/MPR,  kementerian, Polri, TNI, kejaksaan, kehakiman, KPK, BPK, KPU, Pemda, dan entitas BUMN.  

Atau kritik dan masukan kepada organisasi politik dan kemasyarakatan.  Mencakup partai politik dengan politisinya.  Serta organisasi kemasyarakatan atau keagamaan semacam NU dan Muhammadiyah.  Juga organisasi FPI, HTI (dulu), dan PA 212.  

Benarlah perkataan para pendiri Kompasiana.  Blog sosial ini  dimaksudkan antara lain untuk memperkuat dasar demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Demokrasi di sini diartikan sederhana saja. Tak lebih dari kemerdekaan warga menyuarakan fakta dan pendapat ke ruang publik terkait artikulasi kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan judikatif. Termasuk menyuarakan fakta dan pendapat tentang perilaku institusi kekuasaan dan perilaku pemangku kuasa (penguasa).  

Penyuaraan fakta dan pendapat itu adalah bentuk nyata partisipasi politik warga. Tepatnya partisipasi pengawasan sosial secara terbuka terhadap praktek kekuasaan. Hingga tahun 2008 yang lalu, hal semacam itu tampak sebagai utopia.

Kompasiana kemudian hadir untuk dan sukses mentransformasi utopia itu menjadi realita.  Memasuki usia 11 tahun, Kompasiana telah mengantar sekitar 500,000 penduduk Indonesia, para blogger Kompasiana atau Kompasianer,  ke tataran kehidupan berdemokrasi yang hakiki yakni kemerdekaan menyatakan fakta dan pendapat ke ruang publik.

Para Kompasianer itu, terutama lewat artikel mereka,  setiap hari mengungkap fakta dan pendapat ke ruang publik. Termasuk di situ ditujukan kepada pemangku kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif.

Fakta dan pendapat itu begitu beragamnya. Baik dari segi isi (politik, humaniora, ekonomi, teknologi, ekologi, religi), sifat substansi (fakta, analisis, pendapat), dan tujuannya (persetujuan/penolakan,  kritik, solusi).  

Pilpres 2014 dan 2019 adalah dua panggung penting kehidupan berdemokrasi bagi warga Kompasiana.  Di dua peristiwa itu warga Kompasianer terbelah ke dalam tiga kelompok besar: Pendukung Jokowi, Pendukung Prabowo, dan Penonton Aktif.

Pendukung Jokowi dan Pendukung Prabowo adalah dua kelompok warga yang membentuk dua polar.  Masing-masing kelompok gigih mengungkap keunggulan calon presiden yang didukungnya ke ruang publik.  Sambil mengungkap  kelemahan calon presiden pesaingnya.

Interaksi antara kedua kelompok itu mengobarkan "api demokrasi" di Kompasiana. Menghasilkan komunikasi dengan tensi dan suhu tinggi.

Tensi dan suhu tinggi itu untuk sebagian disirami dengan "bensin" atau sebaliknya "air" oleh kelompok Penonton Aktif. Kelompok ini memang terdiri dari "tukang kompor" dan "pemadam kebakaran".  

Tapi dilihat secara holistik, kehidupan berdemokrasi yang dipanggungkan Kompasiana itu sejatinya sangat indah. Itulah "Teater Demokrasi Indonesia" yang sebenarnya.    

Sekaligus "Teater Demokrasi" di Kompasiana itu  menunjukkan bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia telah sampai pada satu format baru yaitu "E-Democracy" atau "E-Demokrasi".  

Inilah format demokrasi yang tak terbayangkan sebelumnya.  Tapi menjadi keniscayaaan di era Teknologi Komunikasi 4.0 kini.

Dengan E-Demokrasi saya maksudkan adalah kehidupan demokrasi di dunia maya sebagai pemanggungan (teater) demokrasi yang tak dapat dijalankan di dunia nyata.  

Dengan definisi itu, saya melihat E-Demokrasi sebagai lembaga politik. Bukan sekadar pemanfaatan teknologi komunikasi digital untuk mendukung proses-proses pengambilan keputusan politik. Sebagaimana sejauh ini secara umum dimengerti (lihat a.l. D.R. Insua & S. French, 2010; A.M. Ronchi, 2019).

Untuk waktu yang lama, mayoritas warga kebanyakan di Indonesia tak punya akses untuk menjalankan hak demokrasinya di arena politik nyata. Sebab legislatif dalam kenyataan lebih tunduk pada kepentingan partai ketimbang warga konstituen.  

Maka warga mencari alternatif panggung demokrasi bagi dirinya. Itulah panggung E-Demokrasi.  Kompasiana adalah salah satu panggung besar, kalau bukan yang terbesar kini di Indonesia.

Sangat mungkin E-Demokrasi akan menjadi gelombang besar demokrasi di Indonesia.  Suatu gelombang demokrasi yang akan menghempaskan demokrasi parlementer sampai kandas di karang "lautan politik" kita.

Suatu saat nanti, dalam imajinasi saya, kegadiran kembaga parlemen semacam DPR tidak perlu lagi.  Fungsinya digantikan oleh lembaga-lembaga E-Demokrasi yang langsung diaktifkan warga.

Tapi sudahlah.  Itu hanya sebuah imajinasi sosiologis.  Saya tak hendak berpanjang-panjang mengulas E-Demokrasi ini di sini. Sebab ini sebenarnya masih bersifat hipotesis.   Sesuatu yang harus, dan saya pikir penting, dikaji dan diuji lewat sebuah riset sosial yang serius.

Pertanyaan risetnya adalah  seluas apa gejala E-Demokrasi kini berlangsung di Indonesia, seserius apa respon lembaga kekuasaan (eksekutif, judikatif, legislatif), dan sebesar apa pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan oleh lembaga kekuasaan dalam 10 tahun terakhir ini.

Gejala E-Demokrasi di blog sosial Kompasiana menurut hemat saya dapat menjadi sebuah kasus yang kaya pelajaran dan implikasi untuk kemajuan demokrasi di Indonesia.

Demikian sekadar pikiran liar dari saya, Felix Tani, petani mardijker, pelaku E-Demokrasi lewat Kompasiana.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun