Menghidupi Petani Sekitar
Saya tidak ingat sudah berapa ruas pematang utama yang telag terlewati. Disain sawah ini sungguh bagus. Â Dicetak dari bekas lahan perkebunan yang tampak datar, tapi sebenarnya melandai ke utara, sawah ini dilengkapi jaringan jalan untuk mobilisasi dan jaringan irigasi sekunder, tersier dan kuarter. Â
Keringat sudah mengucur ketika saya memutuskan berhenti sejenak mengamati kelompok buruh tani yang sedang persiapan tanam. Â Sejumlah besar buruh perempuan sedang mencabut semai padi.Â
Empat orang buruh laki-laki  berbagi kerja: ada yang engangkut semai ke petak lahan siap tanam, ada yang menarik caplak untuk membuat kotak jarak tanam dan larik jajar legowo (jarwo). Â
Buruh tanam adalah bagian kecil dari warga tani yang mencari nafkah di atas 3,169 hektar sawah SHS. Â Setelah itu masih ada buruh tani untuk kerja penyulaman, pemupukan, penyiangan , roguing (membuang tipe simpang), panen, dan angkut (kuli panggul). Â
Semua aktivitas itu bisa disaksikan dalam satu waktu di hamparan persawahan itu. Tentu harus kuat mengayuh sepeda dari satu ke lain blok untuk menemukan mereka.
Buruh tani itu berasal dari desa-desa kecamatan lingkar sawah SHS: Sukamandi, Blanakan, dan Patokbeusi. Tapi semenjak kawasan industri Karawang dan Cikarang berkembang kerja buruh tani kurang diminati. Warga lebih memilih kerja buruh industri. Cari tenaga buruh tani jadi susah. Sehingga harus didatangkan misalnya dari desa-desa di Kabupaten Purwakarta. Â
Kesulitan mendapatkan buruh ini mendorong SHS untuk menerapkan mekanisasi. Sekarang sebagian kerja tanam telah dilakukan dengan mesin tanam. Juga untuk panen, sebagian dilakukan dengan mesin panen (combine harvester). Sedangkan perontokan gabah dilakukan menggunakan mesin perontok (thresser). Ini sebuah keniscayaan, agaknya.
Bukan hanya buruh tani. Sawah ini juga menghidupi sekitar 2,000 orang petani penggarap. Â Mereka terikat kontrak sewa bayar panen (yarnen) dengan SHS. Artinya sewa lahan dibayarkan secara natura berupa gabah kering panen tepat saat panen. Â