Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Lagi Ada Perempuan Batak Telanjang di Atas Tanahnya

1 Oktober 2019   10:59 Diperbarui: 5 Oktober 2019   04:18 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan The Kaldera Toba dengan latar belakang lembah Sigapiton, Tobasa (Foto: tribunnews.com)

Pihak BPODT kukuh pada pendapat bahwa urusan tanah adat Sigapiton adalah urusan pemerintah. BPODT hanya bertanggungjawab membangun obyek wisata kelas dunia di atas tanah Hak Pengelolaaan (HPL) seluas total 387 ha yang diberikan pemerintah.

Pemda Tobasa sendiri melempar tanggung-jawab ke Pemda Provinsi Sumut. Menurut Bupati Tobasa, urusan sengkarut tanah adat Sigapiton dan HPL BPODT itu sekarang urusan Gubernur Sumut.

Sembari Pak Bupati menunda-nunda penerbitan Perda Tanah Adat yang sebenarnya mungkin bisa menjadi jalan masuk untuk pemulihan hak warga Bius Raja Naopat Sigapiton atas tanah adatnya.

Perkembangan terakhir (28/09/2019), dua orang staf Kantor Kepresidenan, datang menemui warga Bius Raja Naopat Sigapiton mengumpul fakta sengketa pertanahan tersebut.

Konon atas perintah Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, menindaklanjuti perintah Presiden Jokowi. Agak aneh karena fakta sebenarnya sudah banyak terkumpul. Solusi masalah yang tak kunjung ada.

Sebenarnya, untuk debottlenecking atas gejala saling lempar tanggungjawab dalam penyelesaian sengketa tanah adat di kawasan The Kaldera, sudah tepat menempatkan KSP sebagai inisiator penyelesaian masalah.

Sangat baik jika KSP membentuk tim lintas sektoral/stakeholder untuk menyelesaikan sengketa lahan tersebut sesegera mungkin.

Masalah sengketa tanah adat Sigapiton itu tipologis masalah pertanahan di Tanah Batak. Agar duduk persoalan terang, maka struktur sengketa pertanahan itu harus diungkap dulu secara benar. Sebab di sana ada juga potensi sengketa horizontal antar bius (federasi kampung Batak). 

Raja-raja Bius Raja Naopat Sigapiton (Manurung, Sirait, Butarbutar, Nadapdap) mengajukan klaim atas tanah adat 914 ha berdasar surat tanah tahun 1975.

Seluas 279 ha dari 914 ha itu kini dicakup ke dalam kawasan HPL BPODT. Sementara itu itu ada informasi mengatakan areal seluas 279 ha itu sejatinya merupakan wilayah Desa Pardamean Sibisa, bagian dari golat Bius Sirait yang telah diserahkan oleh Raja Bius Sirait kepada pemerintah tahun 1952. 

Ada indikasi tumpeng-tindih hak atas tanah adat antar bius di sini yang bisa berujung pada konflik horizontal jika tidak diselesaikan secara bijak. Jangan pula BPODT atau pemerintah membenturkan Bius Raja naopat Sigapiton dan Bius Sirait (Pardamean Sibisa), sebagai jalan melarikan diri dari permasalahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun