Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pak Luhut, Otorita Danau Toba Jangan Merusak Bangunan Sosial Batak

12 September 2019   11:18 Diperbarui: 12 September 2019   15:55 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana bersama sejumlah menteri dan pejabat di atas area Resort The Kaldera Sibisa Toba-Samosir dengan latar belakang Desa Sigapiton (Foto: Setkab)

Dalam artikel "Tragedi Sigapiton yang Disembunyikan dari Jokowi di Danau Toba" (Kompasiana.com, 15/8/2019), saya telah menyampaikan indikasi bahwa Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) tidak menyentuh bangunan sosial (struktur dan kultur) masyarakat Batak dalam pelaksanaan proyek-proyek pariwisata di lingkar Danau Toba. 

Sekurangnya saya sudah sampaikan dua indikasi. Pertama, pengambilan tanah adat warga Bius Raja Paropat Sigapiton (Sirait, Butarbutar, Manurung, Nadapdap) melalui mekanisme hak pengelolaan (HPL) untuk menjadi Resort The Kaldera di Sibisa. Kedua, pembangunan "rumah telur" (homestay) dengan filosofi dan konstruksi yang tidak berakar pada budaya bangunan rumah Batak asli.

Belakangan, ketika sekelompok warga Sigapiton mengadukan nasibnya ke Seknas Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta (21/8/2019), terungkap bahwa di areal tanah adat yang diklaim menjadi HPL BPODT ternyata ada sumber air utama untuk irigasi pertanian dan keperluan keluarga Sigapiton. 

Pembangunan Resort The Kaldera dikhawatirkan akan mematikan sumber air utama tersebut. Itu sama sama saja dengan "mematikan" kehidupan Sigapiton.

Tapi di balik itu, sumber air utama yang disebut homban itu adalah salah satu unsur penting dalam struktur dan kultur masyarakat Batak yang terikat dalam bangunan sosial bius. Jika homban dirusak, maka rusak pula bangunan sosial bius, seperti "Bius Raja Paropat Sigapiton" tersebut. 

Nanti akan saya jelaskan soal indikasi perusakan bangunan sosial bius itu. Sebelum ke sana perlu saya jelaskan dulu mengapa harus "mencatut" nama Pak Luhut Panjaitan di judul artikel ini.

Alasan pertama, pada Pasal 5 Perpres Nomor 49/2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba disebutkan Ketua Dewan Pengarah adalah Menko bidang Kemaritiman. Kebetulan saat ini posisi itu dijabat Pak Luhut Panjaitan.

Tugas Badan Pengarah itu antara lain memberi petunjuk pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan kawasan Danau Toba yang dilakukan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT). 

Karena itu relevan untuk meminta perhatian Pak Luhut atas indikasi rusaknya bangun sosial masyarakat Batak akibat pelaksanaan proyek-proyek pariwisata oleh BPODT. Agar dapat memberikan arakah korektif pada BPODT.

Bangunan Sosial Bius
Bius adalah lembaga pemerintahan demokratis dalam masyarakat hukum adat Batak (Toba) asli. Sebuah bius terdiri dari sejumlah horja dan suatu horja terdiri dari sejumlah huta (kampung asli Batak). Karena itu dikatakan "Huta do mula ni horja, horja do mula ni bius" (Kampung membentuk horja, horja membentuk bius).

Sebuah huta diperintah oleh keturunan marga raja, yaitu kelompok marga perintis dan pembuka kampung. Bersama marga raja ini hidup pula marga boru, yaitu marga lain yang menikahi anak perempuan dari marga raja. Jika marga boru itu sudah menyertai marga raja sejak awal membuka tanah kampung, maka dia disebut boru ni tano (anak perempuan pembuka tanah).

Ketika sejumlah huta membentuk satu horja maka raja huta secara ex-officio menjadi anggota dewan horja. Lalu setiap horja akan mengutus seorang wakilnya duduk di dewan bius. Bius dipimpin dewan bius tersebut. Tapi dari dewan itu dipilih secara musyawarah seorang pemimpin yang disebut Raja Doli, sebagai primus interpares, yang menjalankan kepemimpinan sekuler bius. 

Lembaga bius bertindak selaku otoritas kekuasaan dan pemerintahan atas seluruh wilayah dan masyarakat adat horja dan huta di dalamnya. Bius memegang kuasa pemerintahan terkait pertanahan, irigasi pertanian, tertib hukum adat, dan keagamaaan atau religi. 

Jika ada permasalahan yang tidak dapat diselesaiakan di tingkat huta ataupun horja, maka akan diputuskan di tingkat bius. Semisal terjadi sengketa antar-huta atau horja atau dengan pihak "luar", maka bius akan turun tangan.

Dualisme Pemerintahan Adat Bius dan Desa Nasional
Eksistensi kuasa pemerintahan bius dalam masyarakat Batak (Toba) masih ada hingga hari ini. Kehadiran pemerintahan RI dalam bentuk desa dan Kecamatan tak sepenuhnya menghilangkan eksistensi pemerintahan adat bius.

Gejala dualisme pemerintahan lalu terjadi dalam masyarakat Batak. Pemerintahan adat bius dan desa nasional eksis secara bersamaan dan kerap menimbulkan konflik kekuasaan.

Konflik yang paling sering terjadi berkenaan dengan penguasaan tanah. Bius sebagai federasi huta/horja berpegang pada konsep golat, yaitu wilayah tanah yang dikuasai marga raja dengan batas-batas alami yang ditentukan saat pembukaan huta di masa lalu. Setiap huta memiliki wilayah golat yang bersifat definitif.

Golat itu berpasangan dengan homban, sumber (mata) air utama untuk menyokong kehidupan, khususnya untuk irigasi dan kebutuhan harian. Komunitas Batak aslinya adalah komunitas lembah yang mengandalkan sawah beririgasi tradisional sebagai sumber nafkah utama. Mata air di hulu (hutan) sedangkan sawah di hilir (lembah). 

Ekonomi sawah lembah itu menjadikan wilayah golat lazimnya terentang mulaui dari lembah di hilir sampai ke hutan tempat homban atau sumber air di hulunya. Homban itu menjadi tempat yang dikeramatkan, diyakini di bawah kuasa dewi Boru Saniangnaga, dengan maksud agar tidak seorangpun mengganggu atau merusaknya. Misalnya dilarang keras secara adat menebang pohon di sekitar homban. Maksudnya jelas, untuk menjaga kelestarian sumber air.

Konflik kerap terjadi karena pemerintah, dulu Pemerintah Kolonial Belanda sekarang (diteruskan) Pemerintah RI, mengklaim kawasan hutan sebagai tanah milik negara. Tanpa memperhatikan bahwa kawasan hutan itu beririsan dengan golat suatu huta karena di dalamnya ada homban (sumber air) yang secara hukum adat masuk ke dalam penguasaan suatu pemerintahan adat huta atau bahkan bius. 

Jika homban dan sebagian golat yang menjadi tempatnya kemudian diklaim pihak lain sebagai hak miliknya, maka eksistensi bangunan sosial Batak baik dalam satuan huta maupun bius menjadi terganggu. Prinsip bahwa raja huta menjamin kemakmuran seluruh warganya, termasuk boru ni tano atau boru ni huta, menjadi terganggu. Karena sebagian golat dan homban, yang menjadi sumber hidup, diambil dari penguasaan adat huta.

Ketidak-adilan dan kesulitan hidup akan mendera warga, sehingga harmoni yang inheren dalam bangunan sosial huta menjadi terganggu. Ini bisa berujung pada polarisasi sosial, misalnya antara pro-adat versus pro-pemerintah, sehingga bangunan sosial Batak asli terancam runtuh.

Itulah yang tampaknya terjadi pada kasus sengketa antara Bius Raja Paropat Sigapiton berhadapan dengan pihak BPODT terkait areal HPL Resort The Kaldera di Sibisa, Tobasa.

Kasus Sengketa Bius Raja Paropat Sigapiton versus BPODT
Bius Raja Paropat Sigapiton, terdiri dari huta-huta rintisan marga raja Sirait, Butarbutar, Manurung, dan Nadapdap kini berdapan dengan BPODT yang mendapat HPL atas kawasan hutan yang akan dijadikan Resort The Kaldera, salah satu dari 12 obyek wisata yang sedang dikembangkan di lingkar Danau Toba.

Masalahnya sebagian dari kawasan HPL itu, secara hukum adat pertanahan, termasuk ke dalam golat Bius Raja Paropat Sigapiton. Di dalam golat itu tidak saja terdapat perladangan warga, tetapi juga homban atau sumber air utama untuk irigasi sawah dan keperluan sehari-hari warga Sigapiton. Jika Resort The Kaldera dibangun, tentu dengan proses land clearing, dikhawatirkan sumber air akan mati sehingga sawah warga Sigapiton akan mengering dan air bersih menjadi langka.

Dalam artikel "Orang Batak dan Budaya Lembahnya" (Kompasiana.com, 25/9/2016), saya secara khusus sudah mengambarkan "budaya lembah" Sigapiton. Dengan pendekatan ekologi budaya, saya sudah tunjukkan inti budaya orang Batak Sigapiton itu adalah "sawah beririgasi tradisional". Artinya, sawah adalah basis eksistensi bangunan sosial komunitas Sigapiton. Tidak ada sawah, maka eksistensi sosial-budaya Sigapiton terancam punah.

Jadi bisa dibayangkan, jika homban sumber irigasi itu mati karena Resort The Kaldera, maka sawah Sigapiton akan hilang. Bangunan sosial masyarakat Batak Sigapiton juga akan terganggu karena sumber-sumber penghidupan terganggu. Persaingan nafkah akan meningkat, mungkin berujung polarisasi pro-BPODT dan anti-BPODT, sehingga bangunan sosial Batak Sigapiton runtuh.

Masalahnya, sejauh ini, tidak terlihat keseriusan pemerintah daerah mapun pusat (Kementerian KLH) untuk menyelesaikan masalah sengketa tanah antara Bius Raja Paropat Sigapiton versus BPODT. BPODT sendiri terkesan lepas tangan, karena menurut direksinya badan ini telah mendapat HPL dari pemerintah secara clear and clean. Jika ada masalah pertanahan seperti itu, BPODT minta warga Sigapiton mengurusnya ke pemerintah atau sekalian ke pengadilan.

Sikap BPODT benar, tapi tidak bijak. Betul bahwa fokus badan ini adalah membangun obyek wisata kelas dunia di The Kaldera. Tapi itu mestinya tidak semata bangunan fisik. Melainkan juga bangunan sosial yang menjadi "jiwa" di suatu lokasi wisata. Terlebih Desa Sigapiton akan dikembangkan menjadi "desa wisata". 

Pengembangan Desa Wisata Sigapiton pastilah akan terkendala oleh sengketa penguasaan tanah ini. Warga Bius Raja Paropat Sigapiton sudah mengambil sikap tegas. Selesaaikan dulu masalah pertanahan, baru bicara soal pembangunan pariwisata. Sebab absurd bicara mengenai pembangunan Desa Wisata Sigapiton yang berekologi-budaya sawah, tapi homban sumber air irigasi sawah itu mati oleh pembangunan Resort The Kaldera. Sigapiton tanpa "ekologi sawah" bukanlah Sigapiton.

Warga Bius Raja Paropat Sigapiton tidak anti-pembangunan pariwisata khususnya Resort The Kaldera. Mereka hanya minta hak-hak pertanahan mereka diakui dan homban yang menjadi sumber utama air irigasi dan komsumsi mereka lestari. Itu artinya mereka minta agar BPODT mengintegrasikan kepentingan ekologi-sawah Sigapiton ke dalam masterplan pengembangan Resort The Kaldera.

Ada dua hal yang perlu diakomodir BPODT. Pertama, menjamin kelestarian homban dengan cara menjadikan sumber air tersebut sebagai "enklaf hutan" di kawasan The Kaldera, seperti sedia kala. Dengan demikian sumber air tetap terpelihara, walaupun mungkin tidak sebaik sebelumnya.

Kedua, menjamin nafkah warga Bius Raja Paropat Sigapiton yang memiliki lahan garapan (hak pakai tanah adat atau golat di kawasan Resort The Kaldera. Ini bisa dilakukan misalnya dengan mengembangkan zona agroindustri (hortikutura) modern di kawasan itu dan menyertakan warga di dalamnya. 

Mungkin dua hal tersebut akan mengubah masterplan Resort The Kaldera. Tapi saya pikir itu bukanlah tabu atau dosa. Sebab Resort The Kaldera dibangun bukan demi pariwisata melainkan demi kemaslahatan manusia. Pertama tentulah manusia yang ada di sana, warga Bius Raja Paropat Sigapiton secara khusus, warga desa lingkar The Kaldera secara umum. Lalu kesejahteraan para wisatawan yang berkunjung ke sana. Terakhir baru kesejahteraan pengusaha dan bangsa.

Pesan Singkat untuk Pak Luhut Panjaitan
Ada potensi kerusakan bangunan sosial Batak di Bius Raja Paropat Sigapiton dengan beroperasinya BPODT membangun Resort The Kaldera. Hal itu berpangkal dari pengambil-alihan sebagaian golat dan homban Bius Raja Paropat Sigapiton lewat HPL BPODT.

Warga Sigapiton menuntut pengakuan atas golat dan homban mereka kepada BPODT dan pemerintah. Jika masalah ini tidak diselesaikan, maka kehadiran BPODT dan Resort The Kaldera akan kontraproduktif bagi ekologi dan ekonomi sawah lembah Sigapiton. Jika basis ekologi dan ekonomi rusak, maka bangunan sosial Batak di Sigapiton juga terancam rusak.

Dalam kapasitasnya selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba, saya berharap Pak Luhut Panjaitan sudi mengarahkan BPODT, agar dapat merevisi masterplan The Kaldera. Dua hal yang saya usulkan untuk diintegrasikan adalah, pertama, enklaf hutan untuk sumber air (homban) Sigapiton dan, kedua, pengembangan zona agrowisata (hortikultura) di kawasan The Kaldera dengan mengintegrasikan warga Sigapiton di dalamnya.

Dengan langkah-langkah itu maka kehadiran BPODT dan pembangunan pariwisata di Sigapiton atau umumnya di lingkar Danau Toba tidak menjadi faktor perusak bagi bangunan sosial Batak di sana. Sebab jika bangunan sosial rusak, maka sebuah masyarakat rusak. Jadi untuk apa semua obyek wisata kelas dunia dibangun di sana, jika pada akhirnya masyarakat setempat mengalami kerusakan sosial?

Itu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker, bukan putra Sigapiton, tetapi sangat apresiatif terhadap keindahan bangunan sosial Batak lembah Sigapiton dengan ekologi budaya sawahnya.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun