Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

"Tragedi Sigapiton" yang Disembunyikan dari Jokowi di Danau Toba

15 Agustus 2019   00:04 Diperbarui: 19 Agustus 2019   09:09 20110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana menikmati pemandangan alam Desa Sigapiton di The Kaldera Toba Nomadic Escape pada 30 Juli 2019 (Foto: kompas.com/agus supartono)

Sebuah momen siang yang romantis, lagi eksotis, di gigir tebing timur lembah Sigapiton, Toba Samosir. Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana duduk dengan posisi menyiku, di dua kursi yang mengapit sebuah meja kecil. 

Berdua saling lempar senyum, sembari menikmati keindahan lembah Sigapiton persis di bawah, damai terapit tebing curam di sisi selatan dan utara.

Lembah tua nan permai itu bersambung ke perairan Danau Toba yang terhampar bak cermin raksasa, dibingkai oleh penggalan Pulau Samosir yang menghempang bak punggung gergasi biru di ujung barat. Samar jauh di pesisir pulau itu terlihat desa-desa di Kenegerian Lontung, Samosir.

Momen itu terjadi di dataran Silali, tadinya bagian dari Desa Sigapiton. Kini tanah perladangan warga itu telah disulap menjadi area The Kaldera Toba Nomadic Escape (The Kaldera Nomadic), bagian dari The Kaldera Resort. 

Siang itu, Selasa 30 Juli 2019, Presiden Jokowi bersama sejumlah menteri Kabinet Kerja, mampir sejenak di sana. Presiden meninjau dan ingin memastikan kesiapan pelaksanaan pembangunan The Kaldera Resort, satu dari 12 spot wisata yang sedang dikembangkan di Kawasan Danau Toba.

Panorama lembah Sigapiton yang indah permai, seperti disaksikan Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana (Foto: screen shot video pada tribunnews.com/biro pers setpres)
Panorama lembah Sigapiton yang indah permai, seperti disaksikan Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana (Foto: screen shot video pada tribunnews.com/biro pers setpres)
The Kaldera Resort, 387 hektar yang secara administratif berada di Desa Pardamean Sibisa, dirancang menjadi kawasan wisata mewah, glamour. 

 Di zona The Kaldera Nomadic misalnya dibangun area "glamping" (glamour camping) yang bersifat privat. Dilengkapi dengan amenitas berupa bell tent, bubble tent, dan area parkir campervan/caravan. Lalu ada spot-spot ampitheatre, plasa, panggung, dan bukit wisata.

Sebelumnya, saat peluncuran The Kaldera Nomadic itu pada Kamis 4 April 2019 lalu, Menteri Pariwisata Arief Yahya merinci tiga kategori wisatawan mewah itu. 

Pertama, glam packer, anak muda pengembara; kedua, luxury packer, wisatawan pemburu fasilitas mewah; ketiga, digital nomadic, pekerja lepas berbasis teknologi digital yang tak terikat waktu dan tempat. Jelas The Kaldera Nomadic menyasar kelompok luxury nomadic, wisatawan kelas menengah dan atas.

Berada di bawah pengelolaan Badan Pelaksana Ororita Danau Toba (BPODT), The Kaldera Resort secara keseluruhan memang direncanakan menjadi resort wisata kelas atas. Saat peluncuran The Kaldera Nomadic, Arief Yahya menegaskan pengembangan resort itu akan mereplikasi pola Nusa Dua Bali dan Mandalika Lombok.

Lewat akun instagramnya, Presiden Jokowi juga memastikan di resort itu nanti akan berdiri hotel-hotel bintang empat dan lima dan lapangan golf. Resort yang dirancang terintegrasi ke Bandara Sibisa dan Desa Wisata Sigapiton ini juga akan menjadi kawasan The Meeting Industry.

Namun semua yang telah dilihat oleh Presiden Jokowi di The Kaldera, juga yang telah dilaporkan BPODT kepadanya, barulah semata keindahan, kemewahan, dan kecanggihan tampakan alam dan bangunan fisik. Seperti tergoda oleh itu semua, Presiden lalu menegaskan agar para investor segera dipastikan mulai membangun resort itu.

Tapi ada satu hal yang tak dilihat Presiden Jokowi karena disembunyikan darinya. Satu hal yang terkait bangunan sosial yaitu fakta sosial tragis di atas tanah yang diinjaknya di tebing timur Sigapiton dan di lembah Sigapiton di bawahnya.

Itulah fakta "terusirnya warga Sigapiton dari tanah adatnya" dan "terasingnya warga Sigapiton dari kultur wisata yang dikembangkan". Fakta sosial tragis itu saya sebut di sini "Tragedi Sigapiton".

Warga Diusir dari Tanahnya
"Hami do nampunasa tano di son, alai mandege tano nami pe hami dang dipaloas." -- "Kami adalah pemilik tanah di sini, tapi kami tak diizinkan menginjak tanah kami sendiri." (Ompu Hotler Sirait boru Sidabutar).

Keluhan Ompu Hotler itu adalah protes terhadap arogansi pihak BPODT. Para pejabat BPODT telah melarang sekelompok warga Bius Raja Paropat Sigapiton memasuki area The Kaldera Nomadic pada hari Kamis, 4 April 2019 lalu.

Pada hari itu, Menteri Pariwisata Arief Yahya hadir di The Kaldera Nomadic untuk peluncuran spot wisata mewah itu. Hadir pula sejumlah investor yang diharapkan berinvestasi di The Kaldera Resort. Tak ketinggalan pejabat Pemkab Tobasa dan Pemprov Sumut.

Warga Bius Raja Paropat pada hari itu hanya ingin bertanya kepada Menteri Pariwisata tentang status tanah adat mereka di Silali. Tanah itu kini telah dicakup ke dalam The Kaldera Resort. Mereka ingin pemerintah mengakui hak milik adat mereka atas tanah itu.

Resort seluas 387 ha itu tadinya dikuasai pemerintah sebagai areal hutan negara. Melalui mekanisme pindah hak penguasaan, tanah itu lalu diserahkan kepada BPODT sebagai areal Hak Pengelolaan (HPL). Penyerahan sertifikat HPL tahap pertama (279 ha) sudah dilakukan Desember 2018 lalu.

Warga Bius Paropat Sigapiton menggugat hak milik adat mereka atas tanah Silali yang kini menjadi bagian dari The Kaldera Resort (Foto: medanbisnisdaily.com/ksppm)
Warga Bius Paropat Sigapiton menggugat hak milik adat mereka atas tanah Silali yang kini menjadi bagian dari The Kaldera Resort (Foto: medanbisnisdaily.com/ksppm)
Implikasi HPL atas tanah The Kaldera adalah penyerahan "hak penguasaan negara atas tanah" kepada BPODT. Dengan hak itu BPODT, seperti negara, punya otoritas mengundang investor masuk ke sana dengan insentif kepastian status hukum tanah.

Dengan terbitnya HPL, warga Bius Paropat Sigapiton tidak punya hak apapun lagi atas tanah itu. Jika ada kompensasi untuk mereka, maka tak lebih dari ganti rugi atas tegakan tanaman di atasnya. Bukan kompensasi atas beralihnya hak milik tanah adat menjadi HPL.

Warga Bius Paropat, atau umumnya warga Desa Sigapiton, tidak pernah dilibatkan dalam proses pengalihan hak atas tanah itu menjadi HPL BPODT. Memang pernah ada sosialisasi The Kaldera dari BPODT dan Pemkab Tobasa pada 29 Maret 2019 di Sibisa. Tapi sifatnya lebih pada penyampaian rencana BPODT untuk mengembangkan wisata di areal HPL tersebut.

Bagi pemerintah dan BPODT, HPL atas areal The Kaldera sudah final. Tapi tidak bagi warga Bius Paropat (marga Sirait). Juga bagi warga dusun lainnya, semisal warga Sileang-leang Sigapiton (marga Butar-butar) yang tanah adatnya ikut dicakup The Kaldera.

Warga Bius Paropat sendiri sejak 2017 sudah berupaya meminta pengakuan Kementerian LHK atas tanah adat Silali.

Tapi pihak BPODT tak peduli sejarah dan struktur agraria di The Kaldera. Dengan arogan Basar Simanjuntak, Direktur Pemasaran BPODT justeru mengusir warga Bius Paropat dari The Kaldera pada 4 April 2019 itu. Katanya mereka tak diundang dan kehadirannya dikhawatirkan menyurutkan minat investor.

Basar malahan menantang warga Bius Paropat menuntut hak atas tanah Silali ke pengadilan. Ini arogansi keblinger. Warga tidak menuntut pengembalian tanah adatnya. Mereka hanya minta pengakuan pemerintah.

Selanjutnya, jika pemerintah memerlukan tanah itu untuk pembangunan, mereka dapat menyerahkannya secara adat. Sebab warga Bius Paropat, atau umumnya Sigapiton, sejatinya mendukung pengembangan pariwisata di desa mereka.

Warga Terasing dari Budaya Wisata
Pada tanggal 25 November 2019, Menteri Pariwisata Arief Yahya meresmikan dua unit homestay di Sigapiton. Homestay itu dinamai Jabu Na Ture (Rumah yang Baik), berbentuk telur raksasa yang disangga oleh dudukan tiang. Struktur itu katanya oleh Jabu Bolon atau Ruma Bolon (Rumah Besar), rumah tradisonal etnik Batak Toba.

Tapi saya tidak melihat jejak Ruma Bolon pada arsitektur Jabu Na Ture itu, secara fisik ataupun kultural. Secara fisik, bentuk "telur" itu tak ada dalam arsitektur Ruma Bolon. Secara kultural juga tak ada nilai-nilai budaya Ruma Bolon yang melekat padanya.

Jika dipaksakan relevansinya dengan budaya Batak, maka bentuk telur itu mungkin bisa dikaitkan dengan tiga butir telur burung mitologis Manuk-manuk Hulambujati. Tiga telur itu menetaskan tiga dewa Batak (Debata Na Tolu) yaitu Ompu Tuan Bataraguru, Ompu Tuan Soripada, dan Ompu Tuan Mangalabulan.

Si Raja Batak secara mitologis dipercaya sebagai keturunan generasi kelima dari hasil perkawinan putri Tuan Bataraguru (Si Boru Deakparujar) dan putra Ompu Tuan Soripada (Si Raja Odapodap).

Peresmian homestay (Foto: Kemenpar)
Peresmian homestay (Foto: Kemenpar)
Kalau begitu makna kulturalnya maka "rumah telur" itu mestinya ada tiga unit dan paling tepat didirikan di Gunung Pusukbuhit, Pangururan. Gunung ini secara mitologis diyakini sebagai tempat turunnya Si Raja Batak.

Lalu masing-masing diberi nama Ruma Ompu Bataraguru, Ruma Ompu Soripada, dan Ruma Ompu Mangalabulan. Atau jika diturunkan ke struktur sosial Dalihan Na Tolu orang Batak, namanya menjadi Ruma Hulahula, Ruma Boru, dan Ruma Dongan Tubu.

Tapi faktanya bukan begitu. Karena itu kehadiran bangunan Jabu Na Ture di Sigapiton menjadi asing bagi warga sana. Jelasnya "rumah telur" yang disebut langkah awal proyek percontohan Desa Wisata Sigapiton itu menampilkan kultur wisata yang asing bagi pemangku budaya Batak setempat. 

Itu menjadi pertanda bahwa warga Batak Sigapiton akan terasingkan dari kultur wisata yang sedang dikembangkan pemerintah dan juga BPODT. Risikonya warga sana kelak hanya akan menjadi penonton. Bukan subjek yang mengembangkan dan mengambil manfaat dari pertumbuhan wisata di situ.

Sebenarnya pada tanggal 29 Januari 2017, Pemkab Tobasa dan Direksi BPODT telah melakukan sosialisasi program desa wisata di Sigapiton. Tapi sosialisasi itu hanya menekankan bahwa Sigapiton akan menjadi destinasi wisata unggulan. Lalu warga diminta siap menyongsongnya. 

Sejauh ini tidak ada fasilitasi warga Sigapiton untuk menata struktur sosial sebagai subyek dan mengembangkan budaya lokal sebagai objek wisata. Bangunan sosial lokal tidak dikembangkan agar lebih berdaya kreatif merespon pengembangan Desa Wisata Sigapiton.

Puncak "Gunung Es" di Danau Toba
Inilah "Tragedi Sigapiton" yang disembunyikan dari Presiden Jokowi: "Pengusaha kaya menjual wisata Sigapiton, orang kaya datang membelinya, warga Sigapiton hanya menonton dari luar garis."

Kasus Ompu Hotler Sirait boru Sidabutar adalah ilustrasi yang pedih. Sepetak tanah adat garapannya di Silali, satu-satunya sumber nafkah peninggalan mertuanya, telah menjadi bagian dari The Kaldera, tanpa kompensasi atas kehilangan sumber nafkah.

Dia kini jatuh miskin dan hanya bisa menjadi penonton transaksi wisata antar orang kaya di The Kaldera.

Sebuah momen di The Kaldera Toba Nomadic Escape (Foto: infopublik.id)
Sebuah momen di The Kaldera Toba Nomadic Escape (Foto: infopublik.id)
Di mata BPODT dan pemerintah mungkin "Tragedi Sigapiton" itu hanya riak kecil di tengah lautan. Tidak signifikan jika ditempatkan pada konteks proyek besar pengembangan 12 destinasi wisata unggulan di kawasan Danau Toba. Istilahnya, mungkin, "anjing menggonggong kafilah berlalu". 

Saya pikir tidak sesederhana itu. Ada kekhawatiran "Tragedi Sigapiton" itu semacam puncak "gunung es" dari persoalan besar sosial-budaya yang tak dikelola dengan baik dalam proses pengembangan 12 Destinasi Wisata Kawasan Danau Toba. 

Kekhawatiran ini didasari fakta bahwa BPODT, juga pemerintah, hanya terfokus pada pengembangan bangunan fisik (alam dan buatan). Sedangkan bangunan sosial (struktur dan budaya) sejauh ini, boleh dikatakan, belum disentuh sama sekali

Jika bangunan sosial itu tak digarap secara memadai, maka pada saatnya dia akan menjadi dasar "gunung es" yang bisa menghancurkan "Kapal Wisata" Danau Toba. Maksudnya terjadi disharmoni yang bersifat destruktif antara entitas sosial lokal dan entitas wisata. Ujungnya adalah kehancuran bagi keduanya.

Maka, saya kira, ada baiknya jika Presiden Jokowi meminta kepada BPODT untuk mengevaluasi dan memperbaiki pendekatan kerja mereka di Kawasan Danau Toba. Intinya harus ada perimbangan antara aspek sosial dan aspek fisik dalam pengembangan pariwisata di sana. Suatu pendekatan ekologi budaya dapat menjamin adanya perimbangan semacam itu.

Demikianlah sekadar catatan peringatan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, sudah menikmati keindahan sosial dan fisik Sigapiton pada akhir 1970-an.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun