Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

"Tragedi Sigapiton" yang Disembunyikan dari Jokowi di Danau Toba

15 Agustus 2019   00:04 Diperbarui: 19 Agustus 2019   09:09 20110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana menikmati pemandangan alam Desa Sigapiton di The Kaldera Toba Nomadic Escape pada 30 Juli 2019 (Foto: kompas.com/agus supartono)

Tapi faktanya bukan begitu. Karena itu kehadiran bangunan Jabu Na Ture di Sigapiton menjadi asing bagi warga sana. Jelasnya "rumah telur" yang disebut langkah awal proyek percontohan Desa Wisata Sigapiton itu menampilkan kultur wisata yang asing bagi pemangku budaya Batak setempat. 

Itu menjadi pertanda bahwa warga Batak Sigapiton akan terasingkan dari kultur wisata yang sedang dikembangkan pemerintah dan juga BPODT. Risikonya warga sana kelak hanya akan menjadi penonton. Bukan subjek yang mengembangkan dan mengambil manfaat dari pertumbuhan wisata di situ.

Sebenarnya pada tanggal 29 Januari 2017, Pemkab Tobasa dan Direksi BPODT telah melakukan sosialisasi program desa wisata di Sigapiton. Tapi sosialisasi itu hanya menekankan bahwa Sigapiton akan menjadi destinasi wisata unggulan. Lalu warga diminta siap menyongsongnya. 

Sejauh ini tidak ada fasilitasi warga Sigapiton untuk menata struktur sosial sebagai subyek dan mengembangkan budaya lokal sebagai objek wisata. Bangunan sosial lokal tidak dikembangkan agar lebih berdaya kreatif merespon pengembangan Desa Wisata Sigapiton.

Puncak "Gunung Es" di Danau Toba
Inilah "Tragedi Sigapiton" yang disembunyikan dari Presiden Jokowi: "Pengusaha kaya menjual wisata Sigapiton, orang kaya datang membelinya, warga Sigapiton hanya menonton dari luar garis."

Kasus Ompu Hotler Sirait boru Sidabutar adalah ilustrasi yang pedih. Sepetak tanah adat garapannya di Silali, satu-satunya sumber nafkah peninggalan mertuanya, telah menjadi bagian dari The Kaldera, tanpa kompensasi atas kehilangan sumber nafkah.

Dia kini jatuh miskin dan hanya bisa menjadi penonton transaksi wisata antar orang kaya di The Kaldera.

Sebuah momen di The Kaldera Toba Nomadic Escape (Foto: infopublik.id)
Sebuah momen di The Kaldera Toba Nomadic Escape (Foto: infopublik.id)
Di mata BPODT dan pemerintah mungkin "Tragedi Sigapiton" itu hanya riak kecil di tengah lautan. Tidak signifikan jika ditempatkan pada konteks proyek besar pengembangan 12 destinasi wisata unggulan di kawasan Danau Toba. Istilahnya, mungkin, "anjing menggonggong kafilah berlalu". 

Saya pikir tidak sesederhana itu. Ada kekhawatiran "Tragedi Sigapiton" itu semacam puncak "gunung es" dari persoalan besar sosial-budaya yang tak dikelola dengan baik dalam proses pengembangan 12 Destinasi Wisata Kawasan Danau Toba. 

Kekhawatiran ini didasari fakta bahwa BPODT, juga pemerintah, hanya terfokus pada pengembangan bangunan fisik (alam dan buatan). Sedangkan bangunan sosial (struktur dan budaya) sejauh ini, boleh dikatakan, belum disentuh sama sekali

Jika bangunan sosial itu tak digarap secara memadai, maka pada saatnya dia akan menjadi dasar "gunung es" yang bisa menghancurkan "Kapal Wisata" Danau Toba. Maksudnya terjadi disharmoni yang bersifat destruktif antara entitas sosial lokal dan entitas wisata. Ujungnya adalah kehancuran bagi keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun