Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

"Tragedi Sigapiton" yang Disembunyikan dari Jokowi di Danau Toba

15 Agustus 2019   00:04 Diperbarui: 19 Agustus 2019   09:09 20110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana menikmati pemandangan alam Desa Sigapiton di The Kaldera Toba Nomadic Escape pada 30 Juli 2019 (Foto: kompas.com/agus supartono)

Bagi pemerintah dan BPODT, HPL atas areal The Kaldera sudah final. Tapi tidak bagi warga Bius Paropat (marga Sirait). Juga bagi warga dusun lainnya, semisal warga Sileang-leang Sigapiton (marga Butar-butar) yang tanah adatnya ikut dicakup The Kaldera.

Warga Bius Paropat sendiri sejak 2017 sudah berupaya meminta pengakuan Kementerian LHK atas tanah adat Silali.

Tapi pihak BPODT tak peduli sejarah dan struktur agraria di The Kaldera. Dengan arogan Basar Simanjuntak, Direktur Pemasaran BPODT justeru mengusir warga Bius Paropat dari The Kaldera pada 4 April 2019 itu. Katanya mereka tak diundang dan kehadirannya dikhawatirkan menyurutkan minat investor.

Basar malahan menantang warga Bius Paropat menuntut hak atas tanah Silali ke pengadilan. Ini arogansi keblinger. Warga tidak menuntut pengembalian tanah adatnya. Mereka hanya minta pengakuan pemerintah.

Selanjutnya, jika pemerintah memerlukan tanah itu untuk pembangunan, mereka dapat menyerahkannya secara adat. Sebab warga Bius Paropat, atau umumnya Sigapiton, sejatinya mendukung pengembangan pariwisata di desa mereka.

Warga Terasing dari Budaya Wisata
Pada tanggal 25 November 2019, Menteri Pariwisata Arief Yahya meresmikan dua unit homestay di Sigapiton. Homestay itu dinamai Jabu Na Ture (Rumah yang Baik), berbentuk telur raksasa yang disangga oleh dudukan tiang. Struktur itu katanya oleh Jabu Bolon atau Ruma Bolon (Rumah Besar), rumah tradisonal etnik Batak Toba.

Tapi saya tidak melihat jejak Ruma Bolon pada arsitektur Jabu Na Ture itu, secara fisik ataupun kultural. Secara fisik, bentuk "telur" itu tak ada dalam arsitektur Ruma Bolon. Secara kultural juga tak ada nilai-nilai budaya Ruma Bolon yang melekat padanya.

Jika dipaksakan relevansinya dengan budaya Batak, maka bentuk telur itu mungkin bisa dikaitkan dengan tiga butir telur burung mitologis Manuk-manuk Hulambujati. Tiga telur itu menetaskan tiga dewa Batak (Debata Na Tolu) yaitu Ompu Tuan Bataraguru, Ompu Tuan Soripada, dan Ompu Tuan Mangalabulan.

Si Raja Batak secara mitologis dipercaya sebagai keturunan generasi kelima dari hasil perkawinan putri Tuan Bataraguru (Si Boru Deakparujar) dan putra Ompu Tuan Soripada (Si Raja Odapodap).

Peresmian homestay (Foto: Kemenpar)
Peresmian homestay (Foto: Kemenpar)
Kalau begitu makna kulturalnya maka "rumah telur" itu mestinya ada tiga unit dan paling tepat didirikan di Gunung Pusukbuhit, Pangururan. Gunung ini secara mitologis diyakini sebagai tempat turunnya Si Raja Batak.

Lalu masing-masing diberi nama Ruma Ompu Bataraguru, Ruma Ompu Soripada, dan Ruma Ompu Mangalabulan. Atau jika diturunkan ke struktur sosial Dalihan Na Tolu orang Batak, namanya menjadi Ruma Hulahula, Ruma Boru, dan Ruma Dongan Tubu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun