Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Orang Batak Tidak Bicara Sebelum Makan

15 Juli 2019   15:30 Diperbarui: 28 Juni 2021   18:26 2174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyampaian makanan secara adat dalam masyarakat Batak Toba (Foto: gobatak.com)

Baca juga : Perjodohan bagi Orang Batak

Umpasa itu diamini seluruh hadirin dengan menyerukan, "Ima tutu!", artinya "Jadilah seperti itu!" Lalu makan dan minum bersama sampai puas.

Setelah selesai makan, pihak Ompung Poltak, diwakili anak laki-laki sulung, dalam hal ini pada posisi hula-hula, membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan. Katanya, "Nunga bosur hami mangan indahan na las, sagat marlompan na tabo nabinoanmuna i. Nuaeng pe ba paboa hamu ma tu hami dia do hinarohon muna dohot lapatan ni sipanganon na binoan muna i."

Artinya: "Kami sudah kenyang makan nasi hangat, puas makan lauk enak yang kamu bawa. Sekarang beritahukanlah kepada kami, apa gerangan tujuan kedatanganmu dan makna makanan yang kamu bawa ini."

Pihak namboru Si Poltak kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka membawa makanan adat ke hadapan hula-hula. Tak lain maksudnya meminta tambahan sebidang sawah untuk "tambahan makanan" bagi anak-anaknya. Sawah yang dulu diberikan sebagai pauseang, pemberian orangtua saat anak perempuannya menikah, tidak mencukupi lagi.

Ada sedikit perdebatan, tarik-menarik kepentingan. Saudara laki-laki tertua namboru Si Poltak berargumentasi tidak ada lagi bidang sawah yang bisa dibagikan. (Ayah mereka, Kakek Poltak sudah meninggal, sehingga anak lelaki tertua tampil mewakili keluarga hula-hula.) Tapi namboru Si Poltak tetap memohon dengan sangat agar dapat diberikan sekalipun seluas partataringan (per-tungku-an).

Setelah nenek Poltak tampil menengahi anak-anaknya, akhirnya tercapai kesepakatan. Namboru Si Poltak memperoleh tambahan sepetak lahan sawah untuk "tambahan makanan" bagi anak-anaknya. Semua pihak yang hadir, hula- hula, dongan tubu, dan boru, menerima keputusan itu sebagai kesepakatan adat dalam keluarga yang tidak bisa lagi diganggu-gugat.

Baca juga : Orang Batak Minum Tuak Bukan untuk Mabuk

***

Kasus permintaan tambahan sawah oleh namboru Si Poltak jelas menunjukkan cara kerja prinsip "makan dulu baru bicara" pada orang Batak. Ini dalam konteks pembicaraan adat, tentu saja.

Dari kasus tadi jelas bahwa pesan yang hendak disampaikan namboru Si Poltak melekat pada makanan adat yang dibawa dan disajikannya pada hula-hulanya. Karena itu makanan harus disampaikan, dihidangkan, dan dimakan bersama terlebih dahulu baru kemudian baru ditanyakan dan dinyatakan apa maknanya. Sebab tidak patut secara adat menolak makanan adat yang disajikan boru (atau hula-hula) atas dasar kecurigaan "pasti ada maunya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun