Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Porsea, Saksi Modernisasi tanpa Pembangunan di Tanah Batak

11 Juni 2019   11:00 Diperbarui: 13 Juni 2019   00:56 4535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sudut selatan kota Porsea (Foto: mapio.net)

Rupanya ada sejumlah kota yang "ditakdirkan" untuk hanya menjadi saksi "modernisasi tanpa pembangunan". Frasa "tanpa pembangunan" di sini berarti "tidak ada peningkatan kesejahteraan rakyat secara signifikan". Padahal hasil-hasil proyek modernisasi monumental bermunculan di sekitarnya.

Konsep "modernisasi tanpa pembangunan" itu bukan karangan saya. Itu meminjam abstraksi Prof. Sajogyo ketika menyimpulkan dampak sosionomi "Revolusi Hijau" awal 1970-an di pedesaan Jawa. Modernisasi pertanian sawah waktu itu ternyata tak signifikan menaikkan pendapatan buruhtani dan petani gurem (Lihat: "Modernization Without Development in Rural Java", FAO: Rome, 1973).

Kondisi Porsea, kota kecil di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) cocok dengan gejala "modernisasi tanpa pembangunan" itu. Kota tua yang berada tepat di pangkal Sungai Asahan ini telah menyaksikan sejumlah proyek modernisasi monumental di wilayah Toba dan sekitarnya sejak jaman kolonial. Tapi proyek-proyek itu tak banyak membawa peningkatan kemakmuran untuk masyarakat Porsea.

"Porsea na balau," kata warga tentang kotanya yang seolah enggan beranjak dari kondisi masa lalu itu. "Porsea nan biru", ibarat warna langit, biru dari dulu, kini dan nanti juga tetap seperti itu.

Begitulah, secara fisik, Porsea di penghujung dekade 2010 ini tidak banyak beda dibanding awal dekade 1980. Nyaris tidak ada yang berubah, sebagaimana tampilan stagnan bangunan-bangunan ruko di pusat kota Porsea.

Geografi Porsea 
Porsea secara keseluruhan adalah sebuah kecamatan dengan 14 desa dan 3 kelurahan di Tobasa. Letaknya 41 km di selatan Parapat atau 26 km di utara Balige, ibukota Tobasa. Berada tepat di pangkal hulu Sungai Asahan, Porsea adalah titik nol sungai sepanjang 147 km yang bermuara di pantai timur Sumatera itu, tepatnya di kota Tanjungbalai.

Jembatan Porsea, 2018 (Foto: infopublik.id)
Jembatan Porsea, 2018 (Foto: infopublik.id)
Tetenger Porsea adalah jembatan jalan raya Trans-Sumatera yang membentang di atas Sungai Asahan, menghubungkan Kelurahan Pasar Porsea di utara dan Kelurahan Parparean III di selatan.

Pada tahun 1910-an jembatan ini dilaporkan murni terbuat dari kayu. Ketika Pemerintah Kolonial membuka jalan lintas Sumatera ruas Parapat-Tarutung akhir 1910-an, jembatan itu diganti dengan konstruksi beton dan besi. Jembatan Belanda ini bertahan sampai akhir 1970-an, sebelum diganti dengan jembatan yang sekarang.

Kegiatan ekonomi utama penduduk Porsea adalah pertanian pangan. Mayoritas penduduknya (total 14,000 jiwa, 2017) petani sawah. Mereka mengusahakan total 1,629 ha sawah (2017). Terdiri dari 779 ha sawah irigasi setengah teknis, 278 ha sawah irigasi sederhana (tradisional), dan 572 ha sawah tadah hujan. Tidak ada areal sawah irigasi teknis di sana.

Kegiatan ekonomi penting lain, yaitu dagang dan jasa, terpusat di Kelurahan Pasar Porsea atau kota Porsea. Kelurahan ini merupakan pusat sosionomi Porsea. Kota kecil bentuk persegi panjang yang dilintasi jalan Trans-Sumatera di sisi baratnya. Di kiri kanan jalan berdiri barisan bangunan pertokoan, rumah makan, kedai minum, dan ragam usaha jasa seperti bengkel dan tukang jahit.

Onan (Pekan) Porsea adalah bagian terpenting kota kecil ini. Berada di tengah kota, Onan Porsea dikelilingi barisan rumah/ruko sebagai tembok pembatasnya. Onan ramai tiap hari Rabu, hari pasaran di sana. Para pedagang dan pembeli datang dari desa dan kota di wilayah Tobasa, juga dari Samosir dan Sumatera Timur. Orang desa menjual hasil bumi, orang kota menjual hasil pabrik.

Ada yang unik dari Onan Porsea yaitu jasanya menjodohkan muda-mudi. Onan ini sohor sebagai "onan tombis" (pasar senggol). Pada hari pasar yang padat, muda-mudi secara sengaja saling-senggol. Lalu saling senyum, kenalan, janji ketemuan, selanjutnya pacaran dan ujungnya, kalau jodoh, ya nikah. Di Onan Porsea cinta naik dari siku ke hati.

Tiga Proyek Modernisasi
Sejak masa kolonial, sekurangnya ada tiga proyek modernisasi besar di Porsea dan sekitarnya. Tapi ketiganya tak membawa peningkatan signifikan pada kemakmuran penduduk setempat.

Proyek modernisasi pertama adalah pembangunan jalan raya Trans-Sumatera, termasuk jembatan lintas Sungai Asahan, pada masa kolonial di akhir tahun 1910-an. Proyek ini praktis membuka isolasi Porsea ke "dunia maju" (modern) yaitu Sumatera Timur di utara.

Jembatan Porsea tahun 1929 hasil konstruksi Pemerintah Hindia Belanda (Foto: Koleksi Tropenmuseum Belanda)
Jembatan Porsea tahun 1929 hasil konstruksi Pemerintah Hindia Belanda (Foto: Koleksi Tropenmuseum Belanda)
Jalan Trans-Sumatera itu di satu sisi melancarkan masuknya produk modern dari Sumatera Timur le Porsea. Pertama barang-barang hasil pabrik, semisal tekstil, peralatan rumahtangga, kebutuhan pokok, dan peralatan pendidikan.

Kemudian, tentu saja, kendaraan bermotor yang mendorong minoritas elit ekonomi Porsea menjadi pengusaha angkutan. Selain itu juga mesin penggilingan padi yang melahirkan elit tokke boras (tauke beras).

Di sisi lain keterbukaan dari isolasi meningkatkan arus ekspor hasil pertanian, khususnya padi dan beras, ke Sumatera Timur. Porsea dari dulu sampai kini tergolong salah satu lumbung padi di wilayah Tobasa.

Tak hanya ekspor hasil pertanian, kelancaran transportasi juga meningkatkan arus migrasi ke Sumatera Timur, dan kemudian ke Jawa lewat Belawan. Tujuannya jika bukan untuk cari nafkah di kota, ya, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Mereka yang bermigrasi adalah yang punya keunggulan bersaing di rantau. Dengan kata lain, brain drain untuk Porsea. Migran ini tidak kembali lagi ke Porsea untuk membangun tanah kelahirannya. Paling hanya mengirim uang sekadarnya ke kampung, sebagai bukti keberhasilan di rantau.

Begitulah, modernisasi transportasi darat di Porsea telah meningkatkan pasokan produk manufaktur ke wilayah itu. Tapi juga meningkatkan ekspor hasil bumi khususnya padi dan brain drain dari Porsea ke wilayah Sumatera Utara, kemudian Jawa. Belakangan juga ke Riau dan Sumatera bagian selatan.

Yang tersisa di Porsea pada akhirnya adalah sawah yang semakin menyempit dengan teknologi yang stagnan, serta sumberdaya manusia yang semakin menua dengan kemampuan pas-pasan.

Proyek modernisasi kedua adalah pembangunan PLTA Asahan tahun 1978-1981. Proses pembangunan tiga waduk untuk PLTA ini, yaitu Waduk Siruar (14 km dari Porsea), Siguragura (9 km ke timur Siruar) dan Tangga (4 km ke timur Siguragura), membuka peluang kerja buruh proyek untuk warga Porsea dan sekitarnya.

Pada tahun-tahun pembangunan itu, setiap pagi truk-truk proyek mengangkut buruh dari Porsea ke lokasi proyek pembangunan waduk-waduk tersebut.

Bendungan Air Terjun Siguragura (Foto: esdm.go.id)
Bendungan Air Terjun Siguragura (Foto: esdm.go.id)
Tapi sebatas itu saja. Setelah proyek berakhir tahun 1981, dan PLTA Asahan beroperasi, berakhir pula manfaatnya untuk warga Porsea. Sebesar 603 MW tenaga listrik yang dihasilkan dari tenaga air Siguragura dan Tangga sepenuhnya ditransmisikan ke Kuala Tanjung, Asahan untuk memasok kebutuhan listrik pabrik peleburan aluminium PT Inalum. Sementara listrik Porsea masih tetap tergantung pada pasokan daya terbatas dari PLN.

Proyek modernisasi ketiga, yang monumental tapi juga penuh kontroversi, adalah pembangunan dan pengoperasian PT Inti Indorayon Utama (IIU), sekarang PT Toba Pulp Lestari (TPL). Perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai Sukanto Tanoto ini berada di Sosorladang, Desa Pamgombusan dulu termasuk Kecamatan Porsea sekarang Kecamatan Parmaksian (pemekaran 2008).

Kawasan PT Toba Pulp Lestari di Sosorladang-Pangombusan (Foto: bisnis.com)
Kawasan PT Toba Pulp Lestari di Sosorladang-Pangombusan (Foto: bisnis.com)
Sejarah TPL, sejak proses perijinan (1983) sampai awal pengoperasiannya (1987), hingga sekarang, adalah sejarah konflik sosial di Tanah Batak, khususnya Porsea dan sekitarnya, yang menjadi isu nasional bahkan dunia. Konflik terjadi antar kelompok sosial hulahula vs boru terkait tanah HTI, pro-TPL vs kontra-TPL, dan rakyat vs aparat.

Akar konflik adalah dampak lingkungan TPL, baik terhadap lingkungan fisik (alam Toba) maupun sosial-ekonomi (masyarakat Batak), yang bersifat negatif. Semisal pencemaran udara (bau uap khlorin), pencemaran air sungai Asahan, kerusakan lingkungan (longsor), penggundulan hutan alam, dan monokultur eukaliptus (HTI) serta penggunaan tanah ulayat (untuk HTI).

Konflik tersebut tidak saja menyebabkan kerugian materil dan korban jiwa tapi, lebih penting dari itu, ia menyebabkan disintegrasi dan disharmoni sosial dalam masyarakat Batak. Semisal perpecahan kekerabatan, antara pihak "marga raja" (hulahula) dan "marga penumpang" (boru) di suatu huta (kampung). Kohesi sosial melonggar, begitupun modal sosial "kepercayaan" (social trust).

Ini kerugian besar karena melemahkan inisiatif lokal (asli) dalam proses pembangunan. Separuh masyarakat bersikap antipati atau sekurangnya apatis terhadap proyek modernisasi, sebagaimana direpresentasikan TPL. Dampak logisnya, bagi kelompok sosial tersebut, modernisasi tak membawa peningkatan kemakmuran.

Proyek modernisasi berwujud TPL itu, lepas dari konflik yang terjadi, memang membuka peluang kerja buruh proyek pada awalnya, lalu kemudian karyawan lapis bawah ketika pabrik sudah operasional. Ditambah eksternalitas, berupa peluang usaha dan kerja di bidang bisnis pendukung kelangsungan pabrik. Tapi itu sifatnya terbatas dan tak hanya berlaku untuk orang Porsea saja. Itu berlaku untuk semua orang Batak di kabupaten-kabupaten lingkar Danau Toba.

Komplek TPL di Sosorladang, Pangombusan itu kini cenderung berkembang menjadi prototipe "kota mandiri". Semacam "koloni(sasi)" yang eksklusif di sana. Sehingga dampak langsung kehadiran TPL yang sangat modern itu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Porsea tidaklah signifikan.

Memang ada program-program tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) dari TPL. Tapi program semacam itu tidaklah sistematis dan fundamental.

Boleh dikatakan, kehadiran TPL di Sosorladang itu merupakan "monumen termegah" untuk menandai gejala "modernisasi tanpa pembangunan" di Porsea. Porsea lebih sebagai saksi modernisasi saja, bukan penerima manfaat yang signifikan.

Porsea na Balau 
Frasa "Porsea na balau" (Porsea nan biru), seperi disinggung di atas, agaknya menggambarkan secara tepat gejala stagnasi sosionomi di Porsea. Tak banyak yang berubah di sana, jika membabding kondisi tahun 2010-an ini dengan tahun 1980-an. Dulu "balau" sejarang juga masih "balau".

Karena alasan paradigmatik, saya akan jelaskan gejala stagnasi Porsea itu dengan mengungkap tiga fakta kualitatif. (Posisi saya begini. Jika saya sajikan data kuantitatif maka mereka percaya tapi saya tidak. Jika saya sajikan data kualitatif maka saya percaya tapi mereka tidak. Saya pilih menyajikan data yang saya percaya.)

Fakta pertama, pengalaman empirik Poltak yang anekdotal. Tahun 1980, suatu sore, Poltak pamit pergi merantau ke Jawa pada tiga orang sahabat karibnya, Sudung, Binsar dan Domu.

Ketiga temannya itu, seperti kebiasaan mereka, sedang duduk ngobrol di pagar jembatan Porsea. Sambil menunggu matahari terbenam di ufuk barat. "Poltak, jangan lupa kau sama kami kalau sudah sukses di Jawa, ya?" pesan Sudung mewakili teman-temannya.

Lima tahun kemudian, Poltak yang sudah mendapat pekerjaan yang layak di Jawa, pulang ke Porsea. Sore hari pertama di sana dia melintas di jembatan kota itu. Dia sangat terperanjat menyaksikan tiga orang temannya, Sudung, Binsar dan Domu, masih tetap duduk-duduk di pagar jembatan menunggu matahari terbenam. Persis seperti lima tahun lalu, saat dia pamit merantau ke Jawa. "Oii, kalian masih tetap duduk di situ rupanya!" teriak Poltak.

Begitulah. Sudah lima tahun berlalu, teman-teman Poltak yang bertahan di Porsea nyaris tak mengalami kemajuan yang berarti. Mereka tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Kerjanya cuma "mocok-mocok" alias serabutan.
 
Fakta kedua, kondisi bangunan ruko di kiri dan kanan Jalan Sisingamangaraja, jalan utama atau "etalase" kota Porsea. Dalam 40 tahun terakhir, tak banyak yang berubah pada tampilan bangunan-bangunan itu.

Memang muncul sejumlah bangunan gedung baru berpola "kotak", antara lain hotel (1 unit) dan kantor bank. Tapi secara keseluruhan "etalase" kota ini menampilkan pemandangan yang nyaris tidak berubah dalam empat dekade terakhir.

Terminal Porsea di Jalan Sisingamangaraja yang kumuh tahun 2018 (Foto: lintangnews.com)
Terminal Porsea di Jalan Sisingamangaraja yang kumuh tahun 2018 (Foto: lintangnews.com)
 Saya meninggalkan kota ini tahun 1980. Berkunjung kembali ke sana tahun 1985, 1997 dan 2002. Saya tak melihat perubahan yang signifikan, dalam arti kemajuan ekonomi, pada kota kecil ini. Dia masih tetap "Porsea na balau" yang saya kenal, seperti sedia kala. Begitu sampai sekarang.

Bahkan kondisinya cenderung mengenaskan kini. Trotoar makin semrawut diokupasi PKL. Becek dan genangan di jalan sangat mengganggu kenyamanan jika turun hujan lebat, akibat selokan yang tak berfungsi baik. Lengkap sudah kekumuhan kota ini. Cermin dari kondisi ekonomi lamban pertumbuhannya.

Fakta ketiga, produk makanan khas Porsea, tipa-tipa atau sereal emping beras. Tipa-tipa terbuat dari gabah segar atau rendaman yang digongseng lalu ditumbuk dan ditampi untuk membuang kulitnya. Dimakan dengan campuran gula tebu atau aren dan parutan kelapa. Ini khas Porsea sehingga kota ini sebenarnya dikenal juga sebagai kota tipa-tipa.

Tipa-tipa, emping beras, sereal khas Porsea (Foto: bobo-grid.id)
Tipa-tipa, emping beras, sereal khas Porsea (Foto: bobo-grid.id)
 Produk tipa-tipa itu menjadi indikasi kemandegan kota karena sampai hari ini tidak ada inovasi terkait bentuk dan kemasannya. Tipa-tipa tetap dijual dalam kemasan plastik transparan maupun secara curah ( takaran atau literan).

Tidak ada inovasi untuk menciptakan bentuk-bentuk kompak (misalnya kubus, bundar, atau bulat) dan kemasan yang lebih menarik (semisal kemasan sereal di supermarket). Padahal tipa-tipa ini bisa menjadi alternatif sarapan sereal untuk anak-anak, dicampur susu murni atau kemasan.

Tapi begitulah. Tidak ada yang punya inisiatif untuk memodernisir proses produksi, pengemadan, dan penjualan tipa-tipa di Porsea. Anak-anak lebih suka jajan "chiki-chikian" yang sarat MSG ketimbang tipa-tipa yang tahan lama dan bergizi. Dulu tipa-tipa itu bekal gerilya dan perantau.

Saya tak hendak menyalahkan proyek-proyek modernisasi yang hanya "melintas" di depan mata orang Porsea. Juga tak hendak menyalahkan Pemda Tobasa dan masyarakat Porsea yang seolah "mati langkah" di hadapan arus modernisasi.

Saya hanya ingin tunjukkan bahwa kota ini sejatinya sedang terjebak dalam stagnasi sosionomi. Terima dulu fakta ini dengan besar hati. Setelah itu baru bicara solusinya.

Panorama indah hulu Sungai Asahan, Porsea (Foto: detiktravel.com)
Panorama indah hulu Sungai Asahan, Porsea (Foto: detiktravel.com)
Saya juga tak hendak membicarakan solusinya di sini. Perlu diskusi panjang lagi. Intinya tidak banyak kota di negeri ini yang "postur"-nya seseksi Porsea.

Berada sekaligus di hulu sungai dan di pantai sebuah danau terindah di Indonesia, serta dilintasi jalan raya Trans-Sumatera yang ramai. Juga menjadi titik-simpul jaringan transportasi darat dan sungai/danau.

Kota ini jelas punya potensi wisata air, alam, dan pertanian serta budaya yang besar. Juga punya potensi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Toba. Baiklah jika solusi difokuskan ke situ. Sehingga kota ini tak hanya menjadi saksi modernisasi tanpa pembangunan untuk selamanya.

Begitu saja catatan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, ingin "Porsea na balau" bertransformasi menjadi "Porsea yang warna-warni".***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun