Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hariara, Pohon Tertinggi Sejagad yang Ada di Tanah Batak

25 April 2019   18:30 Diperbarui: 26 April 2019   13:49 4052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Hariara Tungkot di Kampung Sinambela, Baktiraja (Bakkara) Humbang Hasundutan. Dipercaya berasal dari tongkat Sisingamangaraja I yang ditancapkan di tanah (Foto: detik.com)

Salah satu pohon hariara yang ikonik di tanah Batak adalah pohon hariara parjuragatan (parjuragatan, tempat menggantungkan hidup) yang hidup di Bakkara. Tepatnya di kampung kelahiran sekaligus pusat kerajaan Sisingamangaraja yaitu di Sinambela, Kecamatan Baktiraja, Tapanuli Utara. Tinggi pohon sekitar 50 meter dan diameter batangnya kurang-lebih 5 meter.

Menurut cerita turun-temurun, hariara Bakkara itu berasal dari tongkat Raja Sisingamangara I yang ditancapkan di tanah lalu tumbuh menjadi pohon. Karena itu dinamai juga Hariara Tungkot. Itu legenda, boleh percaya boleh tidak, tapi itu indikasi pohon tersebut sudah berumur ratusan tahun.

Warga Bakkara meyakini pohon hariara tungkot tersebut sebagai pohon keramat yang bisa memberi pertanda. Sehingga disebut juga sebagai hariara namarmutiha (namarmutiha, pertanda). 

Konon, dahulu kalau ada cabangnya patah, berarti Raja Sisingamangaraja akan wafat dan saatnya digantikan penerusnya. Jika rantingnya patah, maka ada anggota keluarga Sisingamangaraja yang akan meninggal dunia. Jika dedaunannya terbalik layu, maka akan ada bencana alam, misalnya paceklik karena kemarau panjang.

***

Kembali ke Hariara Sundung di Langit, ini adalah pohon imajiner, suatu "pohon hidup" (arbor vitae) atau "poros jagad" (axis mundi) yang hidup dalam keyakinan atau agama asli etnik Batak (Toba). Artinya pohon itu tidak hadir secara fisik, tetapi hidup dalam kosmologi orang Batak sebagai pohon mitis-kosmis.

Dalam kepercayaan agama asli (paganism) orang Batak, Hariara Sundung di Lagit itu diyakini sebagai pohon yang diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon (Pencipta yang Maha Besar), dewa tertinggi (Mahadewa) orang Batak. Pohon itu diyakini diciptakan bersamaan dengan penciptaan "Tanah Batak" dan "Manusia Batak Pertama" oleh Mulajadi Na Bolon di Kampung Sianjurmulamula, Gunung Pusukbuhit, sebelah barat kota Pangururan, Samosir sekarang ini.

Dalam kosmologi orang Batak, hariara Sundung di Langit itu dibayangkan sebagai pohon mahabesar dan mahatinggi yang mengisi "Tiga Dunia" yaitu Banua Toru (Dunia Bawah, Dunia Dalam/Perut Bumi), Banua Tonga (Dunia Tengah, Dunia Manusia), dan Banua Ginjang (Dunia Atas, Langit, Dunia Dewa Tertinggi dan Dewa Tinggi).

Pohon mitis-kosmis ini dibayangkan tumbuh tepat di puncak Gunung Pusukbuhit, gunung magis orang Batak. Akarnya menghunjam jauh ke Dunia Bawah, batangnya tegak lurus ke atas di dunia tengah, dan tajuknya membentang (madeha, sangkamadeha) di Dunia Atas (Langit). Itu sebabnya dinamai hariara Sundung di Langit, suatu sosok pohon imajiner tertinggi sejagad raya.

Gorga Hariara Sundung di Langit (Foto: budaya-indonesia.org)
Gorga Hariara Sundung di Langit (Foto: budaya-indonesia.org)
Karena "tumbuh" menembus tiga lapis banua (dunia) maka hariara Sundung di Langit itu merupakan "poros jagad" yang menghubungkan Dunia Bawah tempat Dewa Tanah meraja, dunia tengah tempat manusia hidup, dan dunia atas (Langit) tempat dewa-dewa tertinggi dan tinggi bersemayam. Artinya, dia menjadi "poros komunikasi" antara manusia dengan Mulajadi Na Bolon dan dewa-dewa lain di Dunia Atas, dan dewa-dewa/roh-roh penguasa tanah/bawah tanah.

Fungsi sebagai "poros komunikasi" itu tercermin dalam tonggo-tonggo (doa) para datu (dukun) dalam suatu upacara adat. Sebagai contoh, dalam upacara adat memasuki musim tanam padi, maka datu akan memanjatkan tonggo-tonggo yang memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar memberi berkah hujan, sinar matahari, dan udara yang baik dan juga mohon kepada dewa-dewa tanah dan air (Naga Padoha, Boraspati ni Tano, Boru Saniangnaga) untuk memberi kesubururan tanah dan air, sehingga pertanaman memberi hasil melimpah-ruah (gabe na niula). (Tentang Boraspati ni Tano dan Boru Saniangnaga, sudah pernah saya tulis di Kompasiana).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun