Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Waspadai Preservasi Peran Perempuan di Sektor Ekonomi Periferal

15 April 2019   16:08 Diperbarui: 15 April 2019   17:30 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peran marjinal perempuan di sektor pertanian (Foto: binadesa.org)

Respon rekan Kompasianer Leya Cattleya (LC) terhadap isu peningkatan peran ekonomi perempuan, yang sempat mencuat dalam Debat Capres/Cawapres terakhir, menarik didiskusikan lebih lanjut. (Lihat "Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi adalah Tanggung Jawab Bersama", kompasiana.com, 14 April 2019).

Intinya, rekan  LC menilai perlunya kebijakan pengarus-utamaan gender dalam pembangunan untuk mengatasi rendahnya peran serta perempuan dalam kegiatan ekonomi (sekitar 50% saja), rendahnya akses terhadap teknologi yang mengefisienkan dan mengefektifkan pekerjaan, dan rendahnya jaminan kemanan bagi perempuan di tempat kerja.

Saya menyebut gejala itu sebagai kesenjangan antar gender yang bersifat struktural. Artinya, peran ekonomi yang rendah, akses teknologi yang rendah, jaminan keamanan yang rendah adalah hasil konstruksi sosial.  Ringkasnya, hasil dari struktur patriarki yang memfasilitasi hegemoni laki-laki dalam masyarakat.

Jadi, benarlah jika rekan LC bilang, urusan peningkatan peran perempuan dalam perekonomian itu merupakan tanggungjawab masyarakat. Karena kesenjangan antar gender itu adalah produk masyarakat, bukan produk sebuah rejim pemerintahan.

Mungkin sebuah rejim memang berada pada posisi melanggengkan hegemoni laki-laki, dengan cara membiarkan ketimpangan struktural antar gender terjadi.  Pada kondisi semacam itu, kita hanya bisa bilang bahwa pemerintah tidak memfasilitasi kesetaran gender. Tapi tidak bisa dikatakan sebagai penyebab ketimpangan antar gender.

Tapi karena dalam Debat Capres terakhir ada pertanyaan tentang kebijakan peningkatan peran perempuan dalam perekonomian, lalu kedua pasangan capres/cawapres sudah memberikan jawabannya,  maka perlu diperiksa komitmen pemerintahan mendatang terkait hal itu.

Saya pikir sudah benar kebijakan kunci untuk  kesetaraan gender adalah pengarus-utamaan gender dalam kebijakan dan program pembangunan nasional di semua bidang.  Tapi secara khusus di sini difokuskan pada peran di bidang ekonomi.

Dengan pengarus-utamaan gender di bidang pembangunan ekonomi, berarti pemerintah menetapkan kebijakan yang memfasilitasi kesetaraan penguasaan atas aset dan raihan akses ekonomi antara perempuan dan laki-laki.   Artinya, penguasaan aset dan raihan akses ekonomi tidak boleh didasarkan pada indikator gender tapi pada kapasitas manusianya.

Ini memang tidak mudah karena struktur patriarki kita, khususnya dalam masyarakat agraris di pedesaan, umumnya memfasilitasi laki-laki sebagai penguasa sumberdaya ekonomi. 

Memang ada misalnya kasus perempuan menguasai sumberdaya tertentu, semisal perempuan Papua yang menguasai kawasan bakau sebagai wilayah cari nafkah, antara lain kepiting. Tapi yang seperti itu tidak banyak.

Indikator paling mudah untuk melihat ketimpangan penguasaan aset ini adalah sistem pewarisan yang berlaku umum. Nyaris tidak ada kelompok etnis, kecuali mungkin Minangkabau,  di nusantara ini yang memberikan hak waris atas tanah kepada perempuan. 

Kondisi semacam itu menyebabkan perempuan pedesaan menjadi golongan paling lemah jika diukur dari sisi pengusaan aset tanah.

Dalam masyarakat Batak Toba misalnya, yang berpegang pada struktur masyarakat hukum adat, sangat tegas digariskan bahwa perempuan tidak punya hak milik dan hak waris atas tanah, kecuali itu tanah pemberian (non-waris) orangtuanya. 

Hal tersebut menjadi masalah karena perempuan tidak punya hak misalnya untuk mengagunkan tanah untuk mendapatkan fasilitas kredit dari perbankan. Khususnya kelompok janda dan para isyeri yang ditinggal suami merantau (staying behind).

Demikian pula dengan akses terhadap faktor-faktor peningkat peluang kerja dan usaha.   Karena yang menguasai aset adalah laki-laki, maka tawaran modal usaha dan pelatihan pertama-tama umumnya ditujukan kepada laki-laki.   Walaupun faktual banyak perempuan yang membuka usaha sakala rumahan atau mikro.

Saya pikir kedua pasangan capres/cawapres sudah benar ketika mengatakan akan meningkatkan akses perempuan terhadap permodalan dan pelatihan bisnis.   Jika ada bedanya, maka Jokowi pada posisi petahana sudah melakukannya sejak tahun 2014. 

Sementara pesaingnya baru mulai tahun 2017, dalam bentuk rintisan OK-OC di DKI Jakarta. Jadi belum teruji.

Satu hal yang mencemaskan, baik Jokowi-Maruf maupun Prabowo-Sandi, tampaknya terperangkap pada stigmatisasi perempuan sebagai pelaku ekonomi mikro. Karena yang diangkat dalam debat itu adalah perempuan pelaku usaha mikro.

Jika kecemasan itu menjadi kebenaran nanti, siapapun yang berkuasa, maka kebijakan dan program pengarus-utamaan gender kurang lebih sama saja dengan preservasi perempuan di sektor ekonomi mikro atau ekonomi lemah.  Artinya, ketimpangan gender atau ketaksetaraan gender dalam perekonomian tetap berlangsung.

Terlebih jika usaha mikro itu sebenarnya adalah bentuk-bentuk komersialisasi kegiatan-kegiatan reproduktif atau domestik.  Semisal usaha kerajinan anyaman dan tenunan, usaha industri rumahan makanan dan minuman, warung kebutuhan dapur, dan lain-lain.  

Gejala semacam itu tak lain berarti preservasi perempuan di sektor tradisional yaitu sektor domestik yang periferal. Ini yang perly diwaspadai pada kebijakan pemerintah mendatang.

Saya berharap dalam perannya sebagai fasilitator kesetaraan gender di bidang ekonomi, pemerintahan mendatang dapat mengeluarkan kebijakan dan program yang berorientasi pada mobilitas sosial perempuan. 

Mobilitas yang saya maksud adalah peningkatan dari ekonomi skala rumahan/mikro ke skala menengah/besar, dan dari ekonomi reproduktif/domestik  ke ekonomi produktif/publik.

Saya kira, dengan cara itu kesetaraan gender dalam ekonomi secara gradual akan terwujud.  Sehingga perempuan bisa mentas dari ranah ekonomi "periferal"  ke ekonomi "pusat".

Demikian pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, sering masih memburu tikus sendirian di sawah sampai dini hari, karena dalam urusan tikus isterinya menolak kesetaraan gender.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun