Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Disinformasi: Dari Gas Klorin ke Gulai Ayam Berujung Sesal

6 Maret 2019   08:49 Diperbarui: 6 Maret 2019   18:40 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebakaran salah satu ruangan di PT Toba Pulp Lestari, Tbk (dahulu PT Inti Indorayon Utama), Porsea tanggal 10 Oktober 2018 sempat menimbulkan kepanikan warga setempat karena disangka ledakan gas klorin seperti tahun 1993 (Foto: infopublik.id)

"Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna". Itu pepatah tua yang "ga ada matinye".

Saya mulai pembuktian pepatah itu dengan penggalan ringkas sejarah sosial-ekonomi lokal. Tanggal 5 November 1993 boiler PT Inti Indorayon Utama (IIU) di Porsea, Tapanuli Utara (sekarang Toba-Samosir) meledak. Gas klorin bocor ke udara meruapkan bau busuk ke segala arah seturut pergerakan udara.  Pabrik ditutup.

Penduduk sekitar marah. Terjadi perusakan atas 125 unit rumah karyawan, 5 mobil pick-up, 5 sepeda motor, 1 mini market, 1 stasiun radio, dan 1 traktor. Begitu menurut laporan yang sekarang bisa dibaca di media sosial.

Tidak hanya itu. Entah dari mana asalnya, berembus informasi yang menakutkan. Bahwa akan terjadi ledakan susulan. Udara di atas cekungan Toba akan tertutup gas klorin beracun.  Warga sekitar bisa mati semua keracunan.

Maka terjadi kepanikan. Sejumlah penduduk berebut mengungsi cari selamat. Sebagian ke arah Siantar dan sekitarnya di utara. Sebagian ke arah Siborongborong dan sekitarnya di selatan.

***

Kepanikan tak hanya melanda warga Posea dan sekitarnya. Tapi juga warga di desa-desa yang sebenarnya jauh dan lebih tinggi letaknya dibanding Porsea.

Salah satunya warga Desa Panatapan, tempat kelahiran Si Poltak. Arahnya sekitar 25 kilometer ke utara Porsea.

Warga desa ini juga ikut panik, takut mati keracunan gas klorin. Maka warga desa berebut juga mengungsi ke utara, ke Parapat sampai Siantar dan sekitarnya. Ke tempat di mana ada sanak-saudara yang dapat menampung.

Tapi tidak semua. Warga lansia umumnya menolak untuk mengungsi. Dua orang diantaranya adalah kakek dan nenek Si Poltak.

"Ya, kebetulan. Biar cepat matinya.Usia tua begini, apa yang mau dikejar lagi," begitu dalih Nenek Poltak, ketika anak-anaknya mengajak paksa untuk mengungsi.

"Lagi pula, siapa nanti yang akan menjaga kerbau-kerbauku," tambahnya.

Kakek Poltak alasannya lebih praktis lagi."Sudah sakit-sakitan begini, mengapa harus takut mati?" katanya."Dalam Injil dikatakan bahwa kematian adalah kemenangan," lanjutnya.

Entah benar entah tidak ada dalam Injil dikatakan begitu, entahlah. Yang pasti kakek Si Poltak ini rajin baca Kitab Suci walau tak pernah ke gereja. Dan tidak ada yang menyebutnya kafir.

Maka tinggallah kakek dan nenek Si Poltak di kampung. Mungkin mereka berpikir hidup berkepanjangan tak penting-penting amatlah.

"Umur kami tujuh puluh tahun, jika kuat delapan puluh tahun, kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan," kata Kakek Poltak. Itu pasti kutipan dari Mazmur, entah ayat berapa.

Nenek Poltak adalah tipe manusia kreatif bahkan saat menghadapi kemungkinan mati keracunan gas klorin. 

"Kita harus makan enak!" katanya pada Kakek Poltak. Maka dipotonglah ayamnya yang paling gemuk dan diolah dengan terampil menjadi gulai ayam ala Batak yang pasti nikmat.

"Sebelum mati kita makan-makan enak dulu. Jangan sampai mati kelaparan," katanya saat mengangsurkan sepiring nasi dan dua potong gulai ayam ke hadapan Kakek Poltak.

Begitulah, kakek dan nenek Si Poltak makan enak berlauk gulai ayam selama hari-hari sebagian warga desa mengungsi. Ya, setidaknya itu cara terbaik yang dapat mereka lakukan untuk menjemput kematian. Jika gas klorin sialan itu nanti datang.

***

Setelah tiga empat hari tidak ada kabar kematian karena keracunan gas klorin tersiar dari Porsea atau Toba umumnya, warga Desa Panatapan pulang kembali ke kampungnya.

Di kampung mereka menemukan kakek dan nenek Si Poltak masih hidup aman. Bahkan terlihat lebih segar. Mungkin dampak positif makan enak.

Tidak ada orang meninggal di Desa Panatapan kerena gas klorin. Kematian hanya menjemput dua ekor ayam yang digulai Nenek Poltak untuk lauk selama warga lain mengungsi ke utara.

Ada sesal bagi warga yang sempat mengungsi. Karena harus mengungsi tempo hari? Buang duit, tenaga, dan waktu. Kerja terbengkalai. Rezeki luput. Mestinya bertahan di kampung saja seperti kakek dan nenek Si Poltak.

Warga berpikir kakek dan nenek Si Poltak telah mengambil keputusan cerdas. Mereka salah. Duduk soalnya bukan begitu. Kakek dan nenek Si Poltak bertahan di kampung bukan karena pilihan cerdas. Tapi karena dalam kepanikannya mereka tiba pada satu prinsip, "Kalau hari ini bisa mati mengapa harus besok?"

Belakangan ada juga rasa sesal pada Nenek Poltak, manakala teringat dua ekor ayamnya yang sudah hilang ke dalam perutnya. Maklum, harga dua ekor ayam itu cukup untuk belanja kebutuhan lauk, sayur, bumbu, dan tembakau seminggu sebenarnya.

Hanya gara-gara mau menyongsong kematian yang urung menjemput dengan cara terenak, Nenek Poltak harus kehilangan dua ekor ayamnya.

***

Moral cerita ini, hati-hatilah dengan disinformasi. Informasi yang salah atau tidak lengkap dapat menyebabkan seseorang mengambil keputusan yang salah. Yang kelak akan disesalinya.

Ledakan susulan gas klorin yang mematikan adalah disinformasi yang menerpa warga Porsea dan sekitarnya. Sehingga ada sebagian warga yang mengungsi cari selamat. Faktanya, tidak ada ledakan susulan itu.

Sungguh, tidak ada yang diuntungkan oleh disinformasi semacam itu. Kecuali para operator bus yang mematok ongkos semaunya untuk orang-orang yang panik mengungsi. Selalu ada pemakai kesempatan dalam kesempitan.

Dibawa ke masa kini. Disinformasi rupanya menjadi strategi kampanye Pilpres 2019 juga. Dengan cara mendiseminasi hoaks atau info plintiran serba seram ke akar rumput, ke masyarakat lapis bawah. Untuk membuat mereka panik, takut. Lalu mengambil keputusan yang dipikirnya benar padahal salah. Karena memilih Capres yang salah.

Jika ada Capres yang gemar menebar rasa takut, maka jangan memilihnya. Siapapun dia. Sebab jika memilih seseorang atas dasar ketakutan, maka dampaknya kelak akan semakin menakutkan.

Satu hal yang penting diingat, politisi itu boleh bohong tapi pantang salah. Karena itu jangan percaya pada kata-kata politisi tapi pada perbuatannya.

Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker, memilih benih unggul bukan karena takut gagal panen tapi karena yakin panen melimpah.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun