Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Revolusi Celana" di Tanah Batak

11 Januari 2019   12:01 Diperbarui: 12 Januari 2019   04:27 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan bercelana panjang membawa barang dagangan ke pasar (Foto: medanbusnisdaily.com)

Untuk bekerja di sawah, karena mata pencaharian utama warga desa adalah bertani, kaum perempuan lazim mengenakan bawahan rok sampai bawah lutut. Sering juga dilapis dengan bebatan sarung, khususnya saat kerja panen padi.

Untuk ke pesta atau acara adat, kaum ibu mengenakan kebaya lengkap, dengan selempang ulos Batak yang jenisnya (motif) disesuaikan dengan status sosialnya dalam struktur "Dalihan Na Tolu" pesta. Apakah hula-hula (pemberi isteri), dongan tubu (saudara sedarah), atau boru (penerima isteri). Sedangkan anak gadis boleh mengenakan stelan rok-blus atau terusan, atau kebaya, dengan atau tanpa selendang ulos.

Kaum ibu mengenakan sarung itu sesuatu yang menakjubkan juga untuk saya waktu itu.

Pasalnya, kalau buang air kecil di pinggir jalan, mereka cukup berdiri melebarkan kuda-kuda sambil menarik bagian kepala sarung agak ke depan, lalu "currrr ...", air seni terjun ke bawah. (Waktu itu saya sungguh takjub, bagaimana cara melepas celana dalamnya?).

Kendati belum mengenakan celana panjang, setempat sering disebut "slek" (slack, celana panjang perempuan), kaum perempuan Kampung Pardolok pada awal 1960-an sebenarnya tidak terlalu asing dengan jenis bawahan itu. 

Warga kampung itu berkebun nenas dan sebagian hasilnya dijual di tepi jalan. Umumnya pembeli adalah warga Sumatera Timur (Siantar, Tebingtinggi, Medan) yang lewat berkendara dari situ. Ada saja konsumen perempuan yang terlihat mengenakan "slek". Biasanya kaum ibu berbisik-bisik, "Lihat, macam laki-laki saja ibu itu."

Selain itu, kaum ibu tiap hari Sabtu umumnya pergi ke pasar Tigaraja, Parapat. Karena kota ini tujuan wisata, banyak pula hotelnya, maka lazim terlihat wisatawan perempuan dari Sumatera Timur hilir-mudik di sana dengan stelan celana panjang.

Keadaan mulai berubah pada akhir 1960-an seiring mulai masuknya bisnis "burjer" (buruk-buruk ni Jerman, pakaian bekas Jerman), atau disebut juga "rombengan" di pasar lokal, khususnya Tigaraja. Itulah "burjer" itu muncul karena pakaian bekas itu diasosiasikan dengan sumbangan pakaian bekas yang dikirimkan warga Jerman lewat lembaga gereja di Tanah Batak.

Bisnis "rombengan" itu kemudian memberikan pilihan beragam pada kaum perempuan untuk pakaian bawahan: aneka jenis rok dan atau aneka jenis celana panjang (slack).

Pada awalnya para perempuan Kampung Pardolok membeli celana panjang untuk keperluan kerja sehari-hari di sekitar rumah atau di sawah.

Alasannya, pertama, dengan menggunakan celana panjang maka pergerakan lebih bebas, sehingga bekerja bisa lebih cepat dan nyaman. Kalau pakai rok atau sarung, kurang bebas, karena kalau harus angkat rok atau sarung untuk gerak lebih bebas, khawatir saru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun