Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Candi Ceto Tanpa Tongkat Liwung Bertuah

6 Januari 2019   22:36 Diperbarui: 7 Januari 2019   22:16 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gapura-gapura Candi Ceto terlihat dari puncaknya (Dokpri)

Mengaku ke Karanganyar, Jawa Tengah tapi tak mampir ke Candi Ceto, 1496 mdpl di lereng barat Gunung Lawu, sama seperti makan gudeg tanpa nangka. Artinya, "Sama aja bohong!"

Di puncak Candi Ceto, di punden ke-13, di bawah mezbah, tepat di belakang tiga orang lelaki yang khusuk berdoa, Mbah Kuncen berbisik, "Ini penanda pernah datang ke Candi Ceto, ke Gunung Lawu," sembari mengangsurkan sebatang tongkat komando.

Batang tongkat komando itu terbuat dari kayu liwung (aren jantan?). Pangkalnya dihiasi dengan tiga cincin yang terbuat dari tiga jenis kayu lain yaitu tawa, kebak, dan prono kuning.  

Semua bahan tongkat itu, menurut Mbah Kuncen adalah kayu khas Gunung Lawu yang sarat khasiat dan tuah. Kayu liwung membangkitkan keluhuran, kewibawaan, dan keselamatan (Itu sebabnya dijadikan tongkat komando. Cocok untuk para pengejar pangkat dan jabatan). Kayu tawa berkhasiat untuk tolak bala. Kayu kebak untuk melancarkan rejeki. Kayu prono kuning (air rendaman) untuk penyembuhan aneka penyakit dalam.

"Ini tidak dijual. Cukup dengan mahar saja. Tigaratus limapuluh ribu rupiah," bisik Mbah Kuncen membujuk saya.

"Are you sure about it, Dad?" anak gadisku yang bungsu  mengingatkan, khawatir saya tertarik lalu bayar mahar alias beli.

"Kami ke sini hanya untuk mengalami puncak tertinggi Candi Ceto, Mbah. Matur nuwun sudah diijinkan naik ke sini," saya menolak halus.

Dalam pemahaman saya, bukan  ke Candi Ceto namanya kalau tak menjejakkan kaki di puncak tertinggi candi itu, yaitu di kaki mezbah trapesium, tempat berdoa di punden teratas, punden ketigabelas (atau faktual kesembilan?).

Candi untuk Semua

Candi Ceto adalah peninggalan Hindu yang sampai sekarang masih aktif sebagai tempat beribadah umat Hindu setempat, serta yang datang dari daerah lain. Sekitar 80 persen warga Dusun Ceto, Desa Gumeng Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, tempat candi itu berdiri, adalah penganut agama Hindu. Mereka meyakini diri sebagai keturunan pengikut Brawijaya V, Raja Majapahit, yang dipercaya telah moksa dari puncak Gunung Lawu.

Tiga lelaki berdoa di depan mezbah di puncak Candi Ceto (Dokpri)
Tiga lelaki berdoa di depan mezbah di puncak Candi Ceto (Dokpri)
Berbagai kegiatan ibadah Hindu rutin diselenggarakan di Candi Ceto. Seperti ibadah Siwaratri (penghormatan pada Dewi Ratri, penyelamat bumi) serta perayaan Galungan, Kuningan, dan Nyepi serta Ngembak Geni (kelanjutan Nyepi, merayakan pembaruan hidup).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun