Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Warung Makan, Dua Era di Jawa

31 Desember 2018   09:48 Diperbarui: 31 Desember 2018   15:12 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: tribunnews.com

Pada warung kasus A, pewarung memperlakukan pelanggan sebagai anggota keluarga, tepatnya sebagai "anak-anak" yang harus dijamin ketersediaan makanannya. Karena itu warung makannya menjadi semacam ruang makan keluarga. Para pelanggan umumnya saling kenal, karena itu kegiatan makan di situ menjadi semacam waktu makan keluarga.

Pewarung sangat menghargai dan menjamin hak makan dari para pelanggannya. Oleh karena itu dia selalu menakar volum makan setiap pelanggan, agar semua pelanggan kebagian makanan. Jangan sampai ada pelanggan yang kecewa tidak mendapat makanan.

Pada warung kasus B, hubungan pewarung dan konsumen sudah mengarah pada hubungan penjual dan pembeli lazimnya. Tidak teramati lagi hubungan akrab yang hangat, melainkan hubungan bisnis yang cenderung dingin. Cukup dengan kata "Habis!", tanpa sesal, untuk menolak calon konsumen yang datang. Urusan selesai.

Warung kasus B tidak berorientasi kepuasan lagi seperti kasus A. Orientasinya adalah produktivitas, atau ringkasnya "omset" dan "laba". Menjual sebanyak mungkin demi laba sebesar mungkin.

Karena itu, jika fungsi warung kasus A adalah wahana komunikasi (antara pewarung dan pelanggan), maka fungsi warung pada kasus B adalah wahana penjualan semata. Mengutamakan siapa yang pesan lebih dulu dan mengutamakan pesanan partai besar. Tidak masalah jika konsumen yang datang langsung ke warung tidak kebagian. Yang penting dagangan habis terjual.

Kondisi kasus B ini dikatalisasi pula oleh teknologi komunikasi digital. Orang cenderung menjadi "malas" datang ke warung, karena lebih praktis pesan lewat aplikasi gadget. Warung kasus B sudah mengarah ke bisnis online yang lagi ngtren. Tidak salah sebenarnya, kecuali filosofi dasar "warung Jawa sebagai locus komunikasi" sudah terkikis di situ.

Sebenarnya pengikisan nilai filosofis itu bisa di atasi dengan memisahkan warung offline dengan warung online. Dengan begitu, pelanggan atau konsumen tradisional yang lebih nyaman datang dan makan langsung di warung, tak terampas haknya oleh konsumen online.

Saya tak keberatan dengan integrasi warung tradisional Jawa ke era bisnis online. Tapi saya merasa nelangsa, khawatir nilai-nilai "kekeluargaan" itu sudah mulai memudar dari budaya layan warung makan Jawa. Padahal, nilai itulah kekuatan sekaligus kekhasan warung makan Jawa. 

Warung Jawa terutama bukan soal rasa makanan tapi soal  rasa hati. Setidaknya begitu menurut saya, Felix Tani, petani mardijker, sedang bernostalgia di Jawa Tengah.***

Solo, 31 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun