Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Boru Saniangnaga, Dewi Air Orang Batak

1 November 2018   13:09 Diperbarui: 1 November 2018   17:54 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Danau Toba di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Minggu (19/4/2015). (KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES)

Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa kosmologi orang Batak (Toba) mengenal dewa-dewi juga.  Itu bisa dipahami karena masuknya agama samawi, khususnya Kristen, sejak penghujung 1800-an ke Tanah Batak, secara perlahan telah menggusur eksistensi  agama asli (paganisme) Batak berikut eksistensi dewa-dewinya.

Tambahan, melalui pelajaran sekolah, kepada masyarakat kita  kemudian  disosialisasikan bahwa dewa-dewi itu hanya eksis di lingkungan sosio-religi etnik Bali yang beragama Hindu.

Saya hendak tujukkan bahwa orang Batak, menurut kepercayaan paganismenya, sejatinya punya dewa-dewi juga.  Ada dewa tertinggi dan dewa tinggi, lalu ada dewa-dewi yang "membumi". 

Boru Saniangnaga adalah salah satu dewi yang membumi.  Orang Batak mempercayainya sebagai Dewi Air, penguasa selkuruh badan air mulai dari mata air, sungai, danau, sampai lautan.

Saya akan perkenalkan Boru Saniangnaga di sini.  Tapi sebelum itu, saya akan ceritakan dulu secara ringkas ikhwal dewa-dewa tertinggi dan tinggi yang hidup dalam kepercayaan asli orang Batak.

Dewa Agung dan Dewa Tinggi

Dalam kehidupan religious paganisme di masa lalu, sebenarnya orang Batak mengenal lima dewa(ta) utama.  Mereka adalah Bataraguru, Soripada, Mangalabulan, Mulajadinabolon, dan Debataasiasi.   

Tiga dewa tersebut pertama disebut  Debata Na Tolu (Dewa Tritunggal).  Bataraguru menguasai Banua Toru (Dunia Bawah)dengan kuasa penciptaan (kreasi).  Soripada menguasai Banua Tonga (Dunia Tengah) dengan kuasa pengelolaan (pelaksanaan).   Mangalabulan menguasai Banua Ginjang (Dunia Atas) dengan kuasa pembaruan.

Foto: liputan6.com
Foto: liputan6.com
Jika merujuk paparan J.C. Vergouwen (ahli hukum adat Batak), konsep  Debata Na Tolu itu  kemungkinan besar merujuk pada Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) dalam kepercayaan Hindu. 

Mulajadinabolon (Awal-mula Maha Besar, Awal-mula Segala Yang Ada) disimpulkan sebagai dewa(ta) hasil konsepsi orang Batak sendiri.  Dialah yang menciptakan Tritunggal Dewa  Bataraguru- Soripada- Mangalabulan dan kemudian Debataasiasi (dewa kasih) sebagai dewa keempat.

Dengan demikian Mulajadinabolon adalah dewa agung sedangkan Bataraguru, Soripada, Mangalabulan, dan Debataasiasi adalah dewa-dewa tinggi.  Direpresentasikan ke dalam struktur asli masyarakat Batak, tiga dewa tinggi diwakili oleh Hulahula (Bataraguru), Dongantubu (Soripada) dan Boru (Mangalabulan).

Betapapun itu menarik, saya tidak hendak membahas dewa agung dan dewa tinggi itu di sini. Karena intensi saya adalah memperkenalkan Boru Saniangnaga, dewi air yang tergolong dewa (dewi) rendah, dalam arti tingkatannya di dawah dewa tinggi.

Dewi Air Boru Saniangnaga

Ada beberapa versi asal-usul Boru Saniangnaga menurut mitologi Batak.  Salah satu versi menyebutkan bahwa itu adalah salah seorang putri dewa tinggi Bataraguru.  Dikisahkan dia adalah adik Boru Deakparujar, dewi pencipta bumi (Tanah Batak), yang kemudian menjadi leluhur Si Raja Batak ("Batak Pertama", canggah Boru Deakparujar).

Alkisah, atas permintaanya sendiri kepada Bataraguru, Boru Saniangnaga turun dari Benua Atas ke Benua Tengah (bumi) dan tinggal menghuni badan air.  Dengan cara begitulah Boru Saniangnaga kemudian dipercaya sebagai dewi air.

Versi lain mengatakan bahwa Boru Saniangnaga itu adalah isteri dari Boraspati ni Tano, dewa tanah, atas penjodohan Mulajadinabolon.  Maka pasangan itu menjadi pasangan tanah-air, karena Boraspati Ni Tano adalah dewa tanah berwujud bengkarung dan Boru Saniangnaga adalah dewi air berwujud ular.

Versi terakhir ini ada logikanya jika dikaitkan dengan orang Batak dulu yang hidup dalam budaya agraris.  Dua faktor dasar penentu keberhasilan usahatani, khususnya sawah, adalah kesuburan tanah dan ketersediaan air untuk irigasi. 

Dalam keyakinan paganis orang Batak tempo dulu, ada kuasa-kuasa penentu atau penyelenggara dua faktor itu.  Itulah kuasa Boraspati ni Tano, dewa tanah dan kuasa dewi air, Boru Saniangnaga.

Penegasan Boru Saniangnaga sebagai dewi air jelas dinyatakan dalam penggalan tonggo-tonggo (doa) Boru Saniangnaga berikut:

"Naga na marjullak goar ni mualmi, si raja mangarabuk goar ni sampuranmi, si raja mumbakumbak goar ni umbakmi, si raja mompasompas goar ni pasirmi, si boru menakenak di bagasan aekmi".

Artinya, kurang-lebih:  "Naga membuncah nama telagamu, raja menyiram nama air terjunmu, raja menggulung nama ombakmu, raja melabuh nama pantaimu, dewi membisu engkau di kedalaman airmu."

Penggalan tonggo-tonggo itu tegas meneguhkan kuasa Boru Saniangnaga atas seluruh badan air di bumi.  Mulai dari telaga atau mata air (homban) di hulu, sungai (dengan air terjunnya), sampai danau dan lautan. 

Komunitas-komunitas asli Batak lazim memiliki satu sumber air atau mata air bersama yang disebut homban.  Homban diyakini berada di bawah  kuasa  Boru Saniangnaga. 

Karena itu kepadanya harus diberikan persembahan, agar air tetap membuncah dan mengalir dari mata air itu untuk mengairi sawah dan mencukupi kebutuhan lahir (minum, mandi, cuci) warga komunitas.   

Pemberi persembahan pada Boru Saniangnaga yang berdiam di mata air itu lazimnya dilakukan pada upacara "bersih telaga" (patiur homban) di awal musim tanam.  Seorang Datu (Dukun) akan menyerukan tonggo-tonggo Boru Saniangnaga, suatu doa pujian sekaligus pengantar persembahan, agar Boru Saniangnaga berkenan memberikan keberhasilan usahatani melalui kelimpahan air untuk pengairan.

Doa dan persembahan serupa juga disampaikan kepada Boru Saniangnaga  apabila nelayan Danau Toba (disebut partoba) memasuki musim  menangkap ikan.  Tujuannya agar air danau tenang tanpa ombak dan badai, sehingga nelayan selamat dan dimudahkan menangkap ikan.

Monisme Batak dan Kelestarian Alam

Keyakinan paganis orang Batak tentang kuasa Boru Saniangnaga sejatinya adalah bagian dari faham monisme Batak.  Faham yang meyakini kesatuan alam dan manusia, dalam arti manusia adalah bagian integral dari alam itu.

Monisme itu kebalikan dari dualisme yang diperkenalkan Barat, tepatnya oleh agama Kristiani dan Kolonialis kepada orang Batak.  Dualisme meyakini manusia sebagai pihak yang otonom terhadap alam, yang dikenal sebagai prinsip Dominium Terra (Manusia adalah tuan atas bumi).

Keyakinan pada kuasa Boru Saniangnaga, juga Boraspati ni Tano, kemudian mewajibkan orang Batak untuk menjaga keselarasan dengan alam, dengan air dan tanah. 

Itu sebabnya orang Batak memberi persembahan kepada Boru Saniangnaga, membacakan doa, agar selalu diberi air melimpah untuk mendukung kehidupan, khususnya pertanian dan perikanan.

Jika diperhatikan isi persembahan kepada Boru Saniangnaga, antara lain di dalamnya terdapat kapak, gurdi, dan pisau  (disamping tang catut, bulu ekor ayam putih, bonggol bamboo, batu petir, jarum, jeruk purut, telur ayam, sirih).   Penyerahan tiga alat itu (kapak, gurdi, pisau) adalah pernyataan "tidak akan merusak vegetasi sekitar sumber air".

Orang Batak, berdasar pengalaman, tahu bahwa jika vegetasi gundul, maka mata air akan kering, sehingga usahatani akan gagal panen.  Jadi, fungsi laten persembahan dan doa kepada Boru Saniangnaga itu adalah membangun kesepakatan komunitas untuk menjaga kelestarian sumber-sumber air.

Orang Batak tempo dulu percaya jika mereka merusak sumber air, termasuk mencemarinya, maka kehidupan mereka akan sengsara, karena debit air tak cukup untuk mendukung kehidupan.  Kondisi itu dipahami sebagai manifestasi kemarahan Boru Saniangnaga, yang telah direndahkan eksistensinya.

Faktanya sekarang, di tanah Batak sana telah terjadi penggundulan hutan yang diyakini berdampak turunnya debit air sungai dan surutnya permukaan air Danau Toba.  Hutan gundul menjadi landas pacu yang bagus untuk angin melaju kencang ke Danau Toba dan menimbulkan ombak dan badai yang mampu menenggelamkan kapal di sana.

Orang Batak kemudian saling berbisik, Boru Saniangnaga marah.  Tapi sampai di situ saja rupanya.  Tidak ada "pertobatan sosial".   Hutan tetap ditebangi, mata air tak dipelihara, air Danau Toba tetap dicemari.  Proses kreasi bencana alam tetap berlangsung di sana.

Itulah sedikit perkenalan tentang Boru Saniangnaga, juga sedikit tafsir atas eksistensinya, dari saya Felix Tani, petani mardijker yang memerlukan aliran air dari dewi air.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun