Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Partai Demokrat, Mekanisme Bertahan, dan Politik Bazar

12 September 2018   13:02 Diperbarui: 12 September 2018   13:25 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: merdeka.com)

Langkah politik "dua kaki" Partai Demokrat mendapat tanggapan riuh, termasuk dari Kompasianer.  Ada yang menilainya sikap oportunis, ada pula yang menilainya sikap realistis.

Berbagai argumentasi disampaikan.  Mulai dari yang sifatnya common sense (utak-atik gathuk) sampai yang spekulatif atau hipotesis.  Semuanya menarik, atau sekurangnya "menghibur".

Sayangnya, saya tak menemukan analisis yang cukup kokoh.  Sekurangnya analisis yang didasarkan pada suatu konsep tertentu.  Sehingga ada alasan untuk sedikit mempercayai analisisnya.

Saya ingin mengisi relung itu dengan mengajukan dua konsep sosiologis yaitu "mekanisme bertahan" (coping mechanism) dan "politik bazar" (bazaar politics).  

Begini paparannya, secara ringkas.

***

Dalam perspektif sosologi, suatu "mekanisme bertahan" adalah sebuah pola tindakan sosial untuk mempertahankan eksistensi dari kemungkinan degradasi.   Misalnya, menjadi tambah miskin, atau lebih spesifik, menderita rawan pangan.

Begini contoh kongkritnya.  Seorang buruh tani di desa melakukan berbagai kegiatan ekonomi secara simultan untuk mendukung nafkah keluarga.  Jadilah dia menjalankan pola nafkah ganda:  buruh pacul, buruh panen, kuli bangunan, kuli pasar, membantu tuan tanah saat pesta, dan lain-lain yang langsung menghasilkan uang atau mengamankan peluang kerja di hari mendatang.  

Tentang yang terakhir ini menarik.  Jika buruh tani itu membantu tuan tanah (petani besar) saat pesta, mungkin dia tidak mendapat upah (kecuali makanan untuk keluarga).  Tapi dengan itu dia mengamankan peluang kerja baginya sebagai buruh tani di lahan sawah milik tuan tanah tersebut.  Ini namanya mengamankan nafkahnya  di masa depan.

Sekarang coba aplikasikan konsep "mekanisme bertahan" itu ke dunia politik.  Pelakunya bukan buruh tani, tapi politisi atau bahkan partai politik.  

Mengapa misalnya Gubernur Papua, Lucas Enembe yang notabene kader Partai Demokrat memilih untuk mendukung Jokowi-AM ketimbang Prabowo-SU?  Karena dia berpikir untuk kepentingan di masa datang.  Papua itu basis Jokowi.  

Kalau Lucas Enembe mendukung Prabowo, sesuai "haluan" Partai Demokrat, dipastikan konstituen Partai Demokrat akan tergerus di Papua, sehingga akan merugikan calon-calon legislatif partai itu di sana kelak.   Nah, itu namanya, berpikir untuk mengamankan "nafkah" di masa depan.

Itu pula sebabnya Partai Demokrat kemudian membolehkan sejumlah kadernya untuk mendukung pasangan Jokowi-MA.  Sebut misalnya Gubernur banten, Wahidin dan mantan Wagub Jabar, Deddy Mizwar.   Dengan kata lain, Partai Demokrat dengan menjalankan pola "mekanisme bertahan" di kancah politik.

Targetnya jelas.  Mengamankan peluang-peluang politik di masa depan, siapapun pasangan capres-cawapres yang tampil sebagai pemenang.  Itu sudah menjadi karakter partai itu: ogah menjadi oponen murni, ogah juga menjadi proponen murni.  

Peluang politik yang diperjuangkan juga jelas yaitu posisi politik bagi kader mudanya yang sedang dipromosikan:  Agus Harimurti Yudhonono (AHY). Siapapun pemenang kontestasi Pilpres 2019,  Partai Demokrat bisa memperjiangkan satu posisi politis sebagai "The President Man" bagi AHY.  Itu mutlak diperlukan sebagai batu lompatan dalam karir politiknya, setelah gagagl dalam upaya "leapfrogging" menjadi Gubernur Jakarta ataupun Wapres RI.

***

Sejatinya, "mekanisme bertahan"  itu diterapkan oleh individu atau institusi (organisasi) yang sedang mengalami krisis sebagai bentuk strategi survival.  Itu adalah strategi "Si Lemah", "Si Miskin", "Si Gurem", atau "orang kecil" yang mengalami krisis eksistensi.  

Misalnya, pada contoh buruh tani tadi, dia adalah "orang kecil", tepatnya orang miskin yang harus melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensi ekonomi keluarganya.  

Ada konsep sosiologi-ekonomi yang tepat untuk mengambarkan hal itu yaitu "ekonomi bazar", atau ekonomi gurem.  Mekanisme bertahan bisa terlihat dengan jelas pada pelaku ekonomi bazar itu.

Ambil pedagang asongan atau lapak kaki lima sebagai contoh.  Perhatikan barang jajaannya.   Banyak jenisnya, kecil nilai ekonominya, karena modalnya memang kecil.  Ada permen, tissu, rokok, obat flu, air mineral, kue kering, peniti, cotton bud, tusuk gigi,  dan lain-lain.  Pendeknya, pedagang asongan itu seperti "toserba mikro" dalam gendongan.

Mengapa begitu banyak ragam mata dagangannya?  Itu namanya manajemen risiko.  Untuk memastikan bahwa dari sekian banyak benda kebutuhan sehari-hari itu, ada yang laku terjual pada hari itu, sehingga makan untuk hari itu aman.  Kalau dia hanya jual obat flu, misalnya,  belum tentu dia bertemu dengan orang flu yang ingin beli obat murah hari itu.

Nah, sekarang coba pinjam konsep "ekonomi bazar" itu ke dunia politik.  Ketemulah konsep "politik bazar", untuk menjelaskan perilaku politik politisi atau partai politik yang sejajar dengan perilaku ekonomi pedagang gurem tadi.  Jika sebuah partai menjalankan strategi "politik bazar", berarti partai itu memang "gurem" atau sedang mengalami proses "penggureman".  Gurem dalam arti pengaruh politiknya relatif lemah atau melemah.

Partai Demokrat, dengan "mekanisme bertahan"-nya tadi sejatinya sedang menjalankan strategi "politik bazar".  Ringkasnya, mungkin dengan justifikasi "begitulah demokrasi", partai tersebut melakukan diversifikasi kader.  Dipilah antara kader yang sebaiknya pro-Jokowi dan yang sebaiknya pro-Prabowo.  

Itu namanya meminimalkan risiko politik.   Siapapun yang tampil sebagai pemenang Pilpres 2019, dipastikan ada "dagangan" (kader) yang laku terjual.   Dengan modal "dagangan laku" itu, bolehlah Partai Demokrat bertahan untuk kemudian membangun diri lagi menjadi kuat pada tahun-tahun mendatang.

***

Dengan paparan di atas, saya hendak mengatakan, bahwa politik "dua kaki" yang kini ditempuh Partai Demokrat bukanlah hal baru dan bukan juga sesuatu hal yang hebat.

Buruh tani dan petani gurem di pedesaan, serta pedagang asongan dan pedagang kaki lima (gurem) di perkotaan, sudah sejak lama menerapkan "mekanisme bertahan" dan prinsip "ekonomi bazar" itu.  

Jika Partai Demokrat yang dulu pernah "jaya"  kini menerapkan pola "mekanisme bertahan" dan strategi "politik bazar", maka itu mungkin pertanda bahwa partai ini sedang mengalami proses pelemahan, untuk tidak mengatakan "penggureman" (pengaruh politiknya).  Maka politik "dua kaki" Partai Demokrat seperti sekarang adalah "tindakan politik rasional".

Begitu menurut analisis saya, Felix Tani, petani mardijker, terbiasa rasional karena gurem.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun