Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menggagas Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Komunitas di NTT

10 September 2018   09:41 Diperbarui: 10 September 2018   17:59 2104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: net/penatimor.com)

Suatu malam pada tahun 1990 di kota Kupang. Pak Frans Seda (almarhum) mengundang saya dan lima orang kawan makan malam di sebuah hotel. Obrolan tentang masalah kemiskinan di NTT berlangsung gayeng. Lalu seorang staf Pemda Provinsi NTT yang ikut menemani nyeletuk, "Pak Frans, apakah kemiskinan di NTT ini bisa dihilangkan?"

Pak Frans memberi jawaban tak terduga, "Hei, kamu baca Injil, tidak? Di situ dikatakan, orang miskin akan selalu ada bersama kamu." Staf tadi langsung terdiam sembari tersenyum kecut.

Maksud Pak Frans jelas. Kemiskinan tak akan pernah bisa sepenuhnya dihapuskan dari muka bumi. Tidak juga dari NTT.

Penjelasannya begini. Kalau bicara kemiskinan ekonomi, penting membedakan antara kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. 

Nah, bicara kemiskinan absolut, berarti bicara patokan garis kemiskinan. Jika tingkat pendapatan rumah tangga di bawah garis kemiskinan, maka disebut "miskin absolut". Ini yang sedang ditanggulangi secara serius. Terutama di negara-negara terbelakang dan negara-negara sedang berkembang. Termasuk Indonesia.

Lain halnya jika bicara kemiskinan relatif. Ini masalah di negara-negara makmur, ketika angka kemiskinan absolut sudah nol. Rumah tangga dikatakan "miskin relatif" jika pendapatannya berada di rentang seperlima populasi dengan pendapatan terendah.

Jadi, "miskin relatif" itu tidak miskin. Tapi menjadi miskin karena dibanding dengan kelompok berpendapatan lebih tinggi di atasnya. Sejatinya tak ada masalah di sini, kecuali mungkin masalah pemerataan kemakmuran.

Bicara tentang NTT saat ini, sudah pasti persoalannya adalah kemiskinan absolut. Itulah tantangan terberat untuk Gubernur NTT yang baru dilantik, Viktor Laiskodat, saya kira. Juga para gubernur sebelumnya. Pertanyaan pokok: bagaimana cara menekan tingkat kemiskinan di NTT.

Sebagai gambaran, berdasar data BPS, jumlah penduduk miskin di NTT per Maret 2018 adalah 1,142,170 orang (21.35%), pada garis kemiskinan Rp 346,737/kapita/bulan. Jumlah ini naik sebanyak 7,430 orang dibanding jumlah September 2017 yang mencatatkan angka 1,134,740 orang (21.38%), pada garis kemiskinan Rp 354,898/kapita/bulan. Kenaikan terjadi baik di desa maupun di kota.

Perhatikan, angka garis kemiskinan Maret 2018 lebih tinggi sebesar 2.35% dibanding September 2017. Diketahui, komoditi makanan masih mendominasi (78.59%) kontribusi terhadap garis kemiskinan, dibanding komoditi non-makanan. Artinya, warga NTT masih dihadapkan pada persoalan harga bahan pangan yang tinggi.

Kabar baiknya, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) NTT turun dari 4,16 (September 2017) menjadi 3,91 (Maret 2017). Sementara secara nasional naik dari 1.74 menjadi 1.83. Artinya di NTT, jarak antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan mendekat. Kendati masih jauh di atas rata-rata nasional.

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) NTT juga turun dari 1,17 menjadi 1,03 pada waktu bersamaan. Sementara secara nasional naik dari 0.44 menjadi 0.48. Artinya tingkat ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin NTT berkurang. Walaupun masih tetap jauh lebih timpang dibanding rata-rata nasional.

Tapi baiklah. Itu angka-angka di atas kertas menurut BPS. Gubernur NTT Pak Laiskodat rupanya tidak mau terpaku pada angka-angka tersebut. 

Katanya, "Ke depan saya tidak tertarik bicara persentase baik pada level provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Saya lebih tertarik kalau seorang camat datang bawa laporan jumlah orang miskin berapa, keluarganya siapa dan terapinya apa. Karena yang kita terapi orang, bukan persentase." (lihat "Gubernur NTT: Mulai Hari Ini Kepala Dinas Harus Sesuaikan Pakaian Saat Turun Desa", kompas.com, 9/9/2019).

Bagus sekali. Artinya Pak Gubernur akan melakukan pendekatan bottom-up dalam pembangunan NTT. Khususnya dalam rangka penanggulangan kemiskinan absolut. Pak Gubernur akan melakukan pendataan kemiskinan dari bawah. Ini harus diapresiasi.

Bicara pendataan kemiskinan dari bawah, sebagai dasar untuk perencanaan, jelas tidak hanya bicara tentang jumlah warga miskin. Tapi pertama-tama bicara tentang ukuran kemiskinan menurut masyarakat itu sendiri. 

Lalu berdasar ukuran itu mengidentifikasi siapa saja warga miskin (nama dan lokasi), kondisi kemiskinannya, dan penyebab kemiskinannya. Setelah itu, bersama si miskin, merumuskan jalan keluar dari kemiskinan.

Perihal penyebab kemiskinan, masalahnya lebih rumit lagi di NTT. Di propinsi ini kemiskinan sekaligus bersifat alami dan struktural. Artinya, pertama, disebabkan faktor alam NTT yang secara fisik tandus. Tapi ini bisa diatasi dengan iptek.

Lalu, kedua, faktor struktural yang menjauhkan akses golongan masayarakat lapis bawah dari sumber-sumber ekonomi. Ini lebih sulit diatasi, tapi pasti bisa, dengan syarat adanya komitmen politik dari pemerintah setempat.

Intinya, pekerjaan pendataaan kemiskinan secara bottom-up itu tidak mudah. Berbeda dari survei konvensional, pendataan kemiskinan dengan cara itu harus melibatkan peranserta dan penilaian subyektif masyarakat. Artinya, harus ada komunikasi intensif antara unsur rakyat dengan unsur pemerintah.

Bisa dipastikan, dengan pendekatan bottom-up yang bersifat parsitipatoris ini, jumlah penduduk miskin di NTT akan membengkak. Sebab apa yang dirasakan oleh rakyat, jauh lebih berat ketimbang apa yang bisa ditangkap oleh instrumen survei konvensional. Mudah-mudahan saja Pak Gubernur tidak "mati berdiri" melihat angkanya nanti.

Tapi ada sisi positifnya. Data penduduk miskin, penyebab, dan cara penanggulangannya lebih detil dan spesifik lokal. Ini akan memudahkan perencanaan dan pelaksanaan penanggulangan masalah kemiskinan berbasis komunitas. Sekaligus memudahkan keterlibatan komunitas lokal. Sehingga tidak semua upaya dilempar ke pundak pemerintah. Sebab peran komunitaslah yang seharusnya menjadi yang utama. 

Untuk menjalankan penanggulangan kemiskinan berbasis komunitas di NTT, Pak Gubernur disarankan menggalang kekuatan LSM setempat. Sebab sebagai kelompok strategis sosial-budaya, LSM punya kemampuan lebih untuk menggali dan menggerakkan potensi komunitas. Juga jangan dilupakan potensi peranan pengusaha, sebagai kelompok strategis ekonomi, sumber kekuatan permodalan dan inovasi.

Dengan begitu, penanggulangan kemiskinan di NTT nantinya akan menjadi sinergis tiga kelompok strategis lokal yaitu LSM (sosial-budaya), pengusaha (ekonomi), dan pemerintah (politik). Simpulnya adalah komunitas yang mencakup rumah tangga miskin sebagai bagian integralnya.

Dengan begitu, penanggulanggan kemiskinan di NTT tidak dibatasi sebagai masalah antara "warga miskin" dengan "pemerintah". Ini adalah masalah bersama. Karena itu harus diletakkan dalam konteks komunitasnya dan ditanggulangi berbasiskan kekuatan komunitasnya.

Kelompok strategis LSM, pengusaha, dan pemerintah hanyalah fasilitator komunitas untuk penanggulangan kemiskinan itu, bukan sebagai pelaku utama. Pelaku utama adalah komunitasnya, yang digerakkan oleh fasilitasi dari kekuatan-kekuatan strategis itu. Karena kemiskinan itu selalu ada di sana, di tengah komunitas.

Begitulah. Pemerintah, LSM, dan pengusaha selalu akan datang dan pergi. Tapi komunitas itu akan selalu tetap ada di tempatnya. Karena itu penganggulangan kemiskinan harus dipercayakan padanya. Sebab orang miskin itu akan selalu ada di sana, di tengah komunitasnya.

Setidaknya begitulah pandangan saya, Felix tani, petani mardijker, pernah tinggal untuk meneliti masalah kemiskinan di Flores NTT.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun