Keduanya dengan cerdik memanggungkan empati politis terhadap penduduk miskin. Untuk menciptakan citra bahwa mereka adalah baguan dari penduduk yang termiskinkan oleh kebijakan pembangunan pro-infrastruktur dari Pemerintahan Jokowi.
Dramatisasi kemiskinan Indonesia itu, dengan menyebut angka yang jauh lebih besar ketimbang angka resmi (obyektif) BPS, dimaksudkan untuk meraih simpati golongan miskin, sehingga penduduk miskin itu akan memberikan suara pada capres yang diajukan Gerindra dan Demokrat.
Semakin dramatis penggambaran kemiskinan oleh kedua Ketum Parpol itu, harapannya, semakin besar suara golongan miskin atau "40 persen lapis bawah" yang mengalir kepada mereka. Â
***
Tiga kasus di atas menunjukkan bahwa etika pengemis dan gejala dramatisasi kemiskinan tidak hanya terjadi pada aras individual rapu juga merasuk ke aras institusional, baik pada organisasi pemerintahan daerah maupun pada organisasi partai politik nasional.
Jelas gejala perasukan ke organisasi pemerintahan dan partai politik itu bersifat kontraproduktif terhadap pembangunan sosekpolbud di daerah dan nasional.
Itu gejala yang harus diperangi menurut saya, Felix Tani, petani mardijker, yang menolak etika pengemis dan dramatisasi kemiskinan.***