Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pak Jokowi, Kritik, dan Bahaya Hegemoni atas Data

23 April 2018   09:57 Diperbarui: 24 April 2018   19:46 2791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TRIBUNNEWS / DANY PERMANA

Baru-baru ini pemberitaan diramaikan ujaran Pak Jokowi tentang pengutamaan kritik berdasar data. Untuk membedakan "kritik" dari "celaan". Tanpa dasar data valid, berarti "celaan" (terhadap pemerintah). 

Tentu publik mahfum ujaran Pak Jokowi itu mrespon "kritik", atau bagi Pak Jokowi bermakna "celaan", yang dilontarkan Pak Amien Rais dan Pak Prabowo. Kata Pak Amien, "(Sebanyak) 74 persen tanah negeri ini dimiliki kelompok tertentu". Lalu kata Pak Prabowo bukan 74 persen tapi 80 persen tanah negeri ini dikuasai pihak luar. Karena itu, maka Pak Prabowo mengingatkan bahaya 2030 Indonesia bubar!

Validitas data kuantitatif yang diajukan Pak Amien dan Pak Prabowo memang diragukan, atau bisa diperdebatkan. Data Pak Amien katanya merujuk pada publikasi Bank Dunia tahun 2015, tapi pihak Bank Dunia membantah pernah mengeluarkan data seperti itu. Bantahan Bank Dunia masuk akal karena lembaga pendukung kapitalisme ini rada mustahil merilis data yang bisa menyudutkan kapitalis perkebunan, pertambangan, dan kehutanan.

Data pendukung "2030 Indonesia bubar" juga tidak valid, karena merujuk pada kisah novel techno-triller "Ghost Fleet" rekaaan Singer dan Cole. Jika dasarnya adalah data 80 persen tanah Indonesia dikuasai asing, maka validitasnya juga dipertanyakan.

Foto: kompas.com
Foto: kompas.com
Mungkin Pak Jokowi berharap terlalu tinggi juga. Mestinya diterima saja fakta ujaran Pak Amien dan Pak Prabowo itu "ujaran politik", bukan simpulan ilmiah. Dalam berpolitik, berlaku adagium politisi boleh bohong tapi tak boleh salah. Yang dipentingkan adalah efek politisnya. Jika ujaran itu efektif menggerus elektabilitas Pak Jokowi selaku "capres berikutnya", mengapa tidak? Maka ujaran-ujaran semacam itu masih akan dilontarkan sampai Pilpres 2019 usai.

"Sindiran" Pak Jokowi agar kritik itu berdasar data karena itu terasa kurang kena, dan juga mengandung permasalahan. Kurang kena karena "kritik" Pak Amien dan Pak Prabowo adalah ujaran-ujaran politik berorientasi Pilpres 2019. Jadi sudah pasti yang dikedepankan adalah efektivitasnya, bukan validitas datanya. Ujaran yang bombastis, mengejutkan, membelalakkan mata, dan membuat kalap penguasa, itulah yang "benar secara politik".

Jadi percuma saja Pak Jokowi dan timnya membantah ujaran Pak Amien dan Pak Prabowo dengan memajukan data rilisan lembaga internasional yang menyatakan, antara lain, tahun 2030 Indonesia menjadi 10 Besar Ekonomi Dunia. Seperti kata Rocky Gerung, pernyataan Pak Amien dan Pak Prabowo itu mesti diterima sebagai "fiksi". Maka Pak Jokowi mestinya merespons dengan "fiksi" yang setara juga. Misalnya, bilang, "2030 Indonesia Raksasa Asia", atau "2030 Tanah Indonesia Milik Rakyat". Itu "fiksi", energi kreatif mewujudkan tujuan kemerdekaan.

Tadi saya bilang ujaran "kritik berdasar data" dari Pak Jokowi itu "mengandung permasalahan". Maksudnya di situ data yang dikumpul, diolah, dan dipublikasi oleh siapa? Kalau untuk konteks nasional, apakah data BPS? Untuk konteks internasional, apakah data Bank Dunia, IMF, atau lembaga-lembaga internasional lain? Setiap lembaga itu punya idiologi sendiri yang disematkan pada data yang dirilisnya. Maka data mereka bisa sesuai atau tak sesuai dengan kepentingan (idiologis) Pemerintah yang berkuasa, ataupun kelompok oposisi.

Ambil contoh data perberasan. Jika data BPS menunjukkan capaian swasembada beras, maka pasti pemerintah merujuk data tersebut. Sebaliknya kelompok oposisi akan mengeritik data BPS sebagai "data yang tak mencerminkan kenyataan", karena BPS punya bias pemerintahan.

Jadi, jika Pak Jokowi bilang "kritik berdasar data", maka itu tidak masuk akal bagi kelompok oposisi. Sebab itu berarti oposisi harus mengakui sumber data dan data yang diakui pemerintah. Jika data dan sumber datanya sama, yaitu yang diakui pemerintah, maka tidak akan ada kritik dari oposisi.

Pernyataan "kritik berdasar data" itu dengan demikian mengandung muatan "hegemoni pemerintah atas data". Implisit di situ hendak disampaikan jika mau mengritik pemerintah maka gunakanlah data "yang diakui pemerintah" atau yang "bersumber dari lembaga yang diakui pemerintah". Jika kritik tidak didasarkan pada data dari sumber yang diakui pemerintah, maka itu termasuk kategori "celaan", bukan kritik.

Ini berbahaya karena dua alasan. Pertama, jika terjadi hegemoni pemerintah atas data, maka itu sama artinya "membungkam kritik dari kelompok oposisi atau rakyat". Hal itu berarti pemerintah memaksakan satu kebenaran, dan menolak kemungkinan adanya kebenaran lain yang ditampilkan dalam data dan sumber data alternatif, atau di luar "yang diakui pemerintah". Bukankah ini indikasi antidemokrasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun