Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pohon-pohon yang Terancam Hidupnya di Jakarta

3 April 2018   11:50 Diperbarui: 3 April 2018   18:23 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahoni-Mahoni di Bahu Jalan Suryo Jakarta Selatan (Dok. Pribadi)

Bahkan untuk menjadi sebatang pohonpun, hidup tidaklah mudah di Jakarta.  Khususnya pohon yang tumbuh di tepi jalan.

Pagi ini, untuk kesekian ratus kali, saya melintas lagi di Jalan Suryo, Jakarta Selatan. Ini ruas jalan yang indah. Teduh dipayungi tajuk pepohonan mahoni tua di tepu kiri dan kanan jalan.

Sepintas tidak ada yang salah di Jalan Suryo. Semua tampak indah. Kecuali bagi mata yang menempel di kepala berotak kritis.

Ya, pohon-pohon mahoni itu tidak berada di trotoar. Tapi tegak di bahu kiri dan kanan jalan beraspal. Dan itu abnormal, tidak natural. Dengan kata lain sebuah kesalahan.

Itu jelas sebuah kesalahan yang direncanakan dan dipelihara.  Sehingga muncul kesan bahwa itu "wajar", tidak masalah. Dengan kata lain, pembenaran atas suatu kesalahan.

Seperti manusia tidak selayaknya berumah di bantaran kali yang rawan banjir dan penyakit,  demikian pula sebatang pohon tidak selayaknya hidup di bahu jalan raya kota yang rawan celaka dan kesakitan.

Rawan celaka? Ya, pada suatu pagi November tahun lalu, saya  melintas di Jalan Suryo dan melihat sebuah mobil mewah terhenti karena menabrak sebatang mahoni tua yang tegak di bahu kanan jalan.

Terus terang, saya tidak bersimpati pada pengemudi mobil mewah itu, yang mungkin jidatnya  benjol segede bakpao. Saya justru bersimpati pada mahoni tua itu, yang tidak bisa melompat ke trotoar menghindari hajaran moncong si mobil mewah.

Coba dipikir. Si Mahoni Tua itu sudah puluhan tahun setia menyerap polusi karbondioksida dan debu jalanan. Untuk menjaga kesegaran udara kota. Eh, mobil produsen polutan itu justru menabraknya. Dasar tak tahu diuntung.

Ditabrak atau disenggol mobil bukan kejadian langka bagi mahoni-mahoni Jalan Suryo. Luka-luka di tubuh pohon-pohon itu adalah teks laporan kecelakaan tabrak lari.

Maksudnya, setelah menabrak atau menyenggol, pengendara dan mobilnya pergi begitu saja, tanpa peduli luka-luka pohon. Alih-alih, mungkin dia mengumpat, "Pohon sialan, kemarin dia belum ada di situ!"

Teduh tapi Salah (Dok. Pribadi)
Teduh tapi Salah (Dok. Pribadi)
Bukan salah pohon-pohon mahoni itu, berdiri di bahu jalan. Itu salahnya pemerintah kota yang anti-naturalisme demi melayani kapitalisme. Trotoar tempat pohon-pohon berdiri itu telah diratakan, lalu diaspal.  

Tujuannya melebarkan jalan  bagi mobil-mobil yang lewat. Sekaligus memberi ruang parkir bagi mobil-mobil pengunjung kafe, restoran, dan butik yang menjamur di Jalan Suryo.

Rawan kesakitan? Ya, tentu saja. Akar pohon-pohon itu, tepat di bawah jalan aspal, sengsara setiap hari dilindas roda-roda mobil yang melintas.

Bayangkan lidah kaki kita, pakai sepatu lars, lalu bolak-balik ratusan kali dilindas roda sepeda setiap hari. Kira-kira bagaimana rasanya, ya. Ya, seperti yang Anda rasakan, kira-kira begitu pula yang dirasakan pohon-pohon itu.

Akarnya  terhimpit padat di bawah aspal, sehingga tidak bisa berkembang optimal. Pasokan air terbatas pula, karena jalan beraspal dan trotoar beton telah membatasi resapan air hujan, walau jalanan kadang tampak seperti sungai saat hujan lebat.

Akar tak berkembang optimal, maka daya serapnya terhadap hara juga rendah, sehingga pohon lama kelamaan kurang gizi. Lalu jatuh sakit, meranggas,  akhirnya mati.

Siapa yang menangisi kematian sebatang mahoni tua di jalanan Jakarta? Tidak ada. Yang ada justru  orang-orang yang tertawa lebar, karena mahoni mati di  Jakarta adalah rejeki. Batangnya untuk bahan bangunan atau mebel, rantingnya untuk kayu bakar di pabrik tahu. Betapa sadisnya manusia Jakarta.

Bukan hanya sakit fisik atau fisiologis. Tapi juga psikologis. Jangan dikira pohon-pohon mahoni itu tidak stres. Jika daun-daunnya menjarang, itu pertanda stres, seperti rambut rontok di kepala orang stres.

Mahoni Tua Ini Terluka dan Stres (Dok. Pribadi)
Mahoni Tua Ini Terluka dan Stres (Dok. Pribadi)
Ya, pohon mana yang tidak stres sepanjang usianya menghirup karbobdioksida dan menyerap debu jalanan? Ditambah kecemasan sewaktu-waktu busa tertabrak atau tersambar mobil pengemudi mabuk?

Misalkan ada ahli psikologi tumbuhan mengukur tingkat stres mahoni-mahoni Jalan Suryo, saya yakin semua pohon di sana akan direkomendasikan masuk "rumah sakit jiwa tumbuhan".  

Saya pikir pemeriksaan tingkat stres pohon itu perlu segera dilakukan. Sebelum batang tubuhnya merapuh dicekam stres. Lalu tumbang menimpa mobil "orang baik-baik" yang sedang melintas.

Terapi stres pohon itu sederhananya saja. Beri dia ruang tumbuh yang layak, idealnya seluas lingkaran tajuk, dengan cara memulihkan trotoar hijau di Jalan Suryo. Bahasa teknisnya, pelebaran trotoar sebagai jalur hijau.

Sambil juga memeriksa kesehatan fisiologis pohon, dan mengobatinya jika sakit.  Itu pantas dilakukan, walau tidak termasuk dalam janji kampanye gubernur.

Tolong jangan diambil langkah sebaliknya, menggusur pohon-pohon itu untuk melayani hamba-hamba kapitalisme. Saya baca, pohon-pohon di Jalan Sudirman akan digusur, untuk memberi  jalur bagi motor, produk kapitalis penyumbang polusi udara dan suara itu.

Mungkin saya terlalu melankolis dengan pohon-pohon mahoni Jalan Suryo ini. Tapi saya menganggap mereka adalah perwakilan pohon-pohon yang terancam hidupnya di Jakarta.

Karena mereka selama ini diam, dan anggota DPRD juga diam, saya pikir tak ada salahnya kalau saya sampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah Jakarta. Dalam bahasa manusia, bukan bahasa pohon.

Jadi, Pak Gubernur, tolong jngan biarkan pohon-pohon Jakarta stres sampai mati. Sebab pohon yang stres adalah cermin pemerintah dan warga kota yang juga stres. Kalau sudah begitu, di mana letak bahagianya kita?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun