Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mbak Kahiyang, Menjadi Boru Batak itu Berat Sekali

20 November 2017   10:04 Diperbarui: 20 November 2017   11:36 13162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berat karena sebagai perempuan Jawa Solo, Kahiyang tak punya pengalaman menghadapi harapan yang bersifat tekanan sosial dari komunitas hukum adat. Soalnya masyarakat Jawa tidak mengenal komunitas hukum adat genealogis seperti masyarakat Batak Mandailing. Sehingga tak ada super-struktur kerabat luas atau komunitas yang melekatkan status dan peranan adat pada individu Jawa seperti dalam masyarakat Batak Mandailing.

Pada statusnya sebagai "Boru Batak Mandailing", yaitu "boru Siregar" gelar "Namora", Kahiyang bersama Bobby suaminya akan menghadapi harapan akan peran sosial adat dari dua  entitas hukum adat.

Pertama, harapan dari entitas masyarakat hukum adat Mandailing umumnya, baik yang berada di Mandailing-Natal sana, maupun yang tersebar di perantauan, khususnya kota-kota besar Indonesia. Harapan dari entitas ini lazimnya adalah "partisipasi pembangunan" dalam arti luas. Mulai dari harapan dukungan pembangunan prasarana dan sarana fisik atau infrastruktur, sampai pembangunan sumberdaya manusia, budaya, dan ekonomi.

Semua itu berimplikasi pengeluaran energi, baik pikiran dan tenaga maupun materil. Semisal kontribusi untuk pembangunan rumah ibadah, kegiatan budaya, event pameran ekonomi rakyat, dan sebagainya. Di situ fungsi gelar "Namora " pada Kahiyang akan diuji. Apakah akan supportif terhadap fungsi "Sutan Kumala Abdul Rahman" yang dilakonkan Bobby suaminya?

Kedua, harapan dari entitas komunitas hukum adatnya selaku "boru" Siregar yang bersuamikan marga Nasution". Ini dikenal sebagai entitas triangular "Dalihan Na Tolu", terdiri dari "Mora" (pihak pemberi anak perempuan), "Anak Boru" (pihak penerima anak perempuan), dan "Kahanggi" (kerabat semarga).

Dalam konteks pernikahan Bobby-Kahiyang, maka pihak keluarga Siregar (pemberi marga untuk Kahiyang) adalah "Mora". Pihak keluarga Bobby Nasution adalah "Anak Boru" dan keluarga besar Bobby bermarga Nasution adalah "Kahanggi".

Norma hubungan sosial adat Dalihan Na Tolu itu adalah "Somba Marmora, Manat Markahanggi, Elek Maranak Boru". Artinya, "Hormati Mora, Telateni Kahanggi, Kasihi Boru." Yang paling berat di sini adalah pelaksanaan norma "Hormati Mora". Ini yang perlu dipahami Kahiyang secara sungguh-sungguh.

Norma "hormati mora" itu sarat dengan kewajiban mendukung "mora" secara materil dan moril. Ada sejumlah kewajiban, tapi intinya "anak boru" wajib melayani "mora", baik dalam arti memberi dukungan materil maupun dukungan non-materil berupa tenaga dan pikiran. Misalkan "mora"-nya mengadakan upacara adat, maka Kahiyang sebagai "anak boru" wajib untuk memberi dukungan materil dan moril. Terlebih dia menyandang gelar "Namora", maka dia diposisikan sebagai "pemuka" bagi kelompok "anak boru" dari "mora"-nya yaitu keluarga Siregar yang menjadi "orangtua adat"-nya.

Tentu tidak hanya dalam urusan adat. Jika dari pihak "mora" misalnya ada yang mencalonkan diri untuk sebuah jabatan publik, misalnya walikota atau bupati, maka Kahiyang dan Bobby suaminya selaku "anak boru" tentu diharapkan memberi dukungan pula. Situasinya bisa dilematis jika pada saat bersamaan dari pihak "kahanggi" ada pula yang mencalonkan diri. Mau dukung Siregar (mora), Nasution (kahanggi), atau dua-duanya, atau tidak mendukung? Di sini akan diuji mutu kebijakan Kahiyang dan Bobby suaminya.

Jadi, Mbak Kahiyang, menjadi "Boru Batak Mandailing" dengan gelar "Namora" itu sungguh berat. Pernikahan adat Batak-Mandailing dan penabalan gelar "harajaon" itu bukan sekadar ritual, tapi sarat implikasi kewajiban peran sosial adat yang harus dilakoni. Tapi, fakta bahwa Mbak Kahiyang adalah putri Presiden RI, niscaya adalah penanda bahwa dia adalah "Orang Besar" yang pasti punya kemampuan lebih untuk menjalani kewajiban-kewajiban itu secara selayaknya. Semoga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun