Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ojo Dumeh! Catatan Seminggu Pak Anies Baswedan Memimpin Jakarta

25 Oktober 2017   09:08 Diperbarui: 25 Oktober 2017   11:21 7674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ojo dumeh," kata orang Jawa. Artinya, "Jangan  mentang-mentang." Mentang-mentang punya kuasa, lalu bertindak seenaknya, semaunya sendiri. Tak peduli rakyat dirugikan, sakit hati, atau tersinggung.

Saya menilai perlu memberi catatan "Ojo Dumeh" itu untuk Pak Anis Baswedan. Sebagai wujud dukungan untuk membangun perilaku birokrat yang lebih mengayomi kepentingan umum, di atas kepentingan pribadi sebagai birokrat.

Pasalnya, ada tiga peristiwa yang mengundang celetukan "Ojo dumeh" dalam seminggu pemerintahan Pak Anies di DKI Jakarta. Setidaknya menurut penilaian subyektif saya.

Pertama, ujaran "saatnya pribumi menjadi tuan rumah", saat pidato politik pada sore pertama dilantik Presiden menjadi Gubernur DKI Jakarta.  

Ujaran itu, karena alasan subyektif maupun obyektif,  faktual  menciderai kelompok sosial yang dikategorikan "non-pribumi". Sekalipun yang dimaksud Pak Anies dengan  "pribumi" mungkin adalah "golongan miskin",  sebagian orang kadung memahaminya sebagai "etnis asli" (indigenous ethnic).  Sehingga "etnis pendatang" (exogenous ethnic)  merasa dituduh sebagai "kolonialis" masa kini, pihak yang harus dijadikan "tamu di rumah pribumi".

Ujaran itu, bagaimanapun, telah menciderai perasaan sebagian warga Jakarta, yang mengidentifikasi diri atau diidentifikasi sebagai non-pribumi.  Ironis sebenarnya, sebab ketika Pak Anies menyerukan Jakarta Bersatu, pada saat bersamaan dia melontarkan ujaran dikotomis "pribumi-nonpribumi". Sebab ketika Pak Anis menyebut pribumi Jakarta, implisit dia menunjuk pada nonpribumi Jakarta.

"Ojo dumeh." Kekuasaan tidak boleh diskriminatif, hanya melayani "kaum sendiri". Mesti merangkul semua warga menjadi "tuan rumah bersama".

Kedua, kasus "kesepakatan informal" antara Pak Anies dan Pak Mahesh terkait pelepasan tanah miliknya untuk kepentingan jalur MRT di Hj. Nawi, Jakarta Selatan.

Kesepakatan informal semacam itu tidak pada tempatnya karena dua hal. Di satu sisi, kesepakatan itu mendahului putusan MA karena Pemda DKI sehatinya sedang mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi yang menetapkan ganti rugi harga tanah Rp 60 jt per meter persegi. Pemda DKI mematok nilai Rp 33 jt per meter persegi. Bukankah suatu obyek perkara harus tetap status quo, sebelum ada purusan tetap dari pengadilan?

Di sisi lain, kesepakatan itu dapat menimbulkan "perpecahan" di antara sekelompok warga, teman-teman Mahesh,  yang sedang menunggu putusan MA. Salah seorang warga yang bersengketa sudah mengingatkan Pak Anies, "Hanya Mahes punya ya, Pak?" Kata Pak Anies, tidak masalah, Pak Mahesh sebagai contoh saja. Implisit, teman-teman Mahesh dianggap "mengganggu pembangunan MRT".  Artinya,  kesepakatan itu menimbulkan "perpecahan" di antara warga yang berpwrkara dengan Pemda.

"Ojo dumeh." Kekuasaan mesti tunduk pada hukum. Tidak boleh menerabas hukum. Tidak boleh menecah-belah warga.  Juga tidak boleh mendiskreditkan orang yang sedang memperjuangkan haknya di jalur hukum sebagai "pengganggu pembangunan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun