Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sosiologi Pekuburan, Terwujudnya Komunisme

31 Agustus 2017   13:07 Diperbarui: 1 September 2017   14:21 6416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekuburan Kampung Kandang Jakarta (Dokpri)

Ziarah ke pekuburan umum Kampung Kandang, Jakarta Selatan tidak semata nyambangi makam kerabat. Tapi juga sambil lewat baca nisan-nisan kuburan. Untuk tahu nama jasad yang terkubur di bawahnya. Sambil membayangkan, suatu saat nanti  ada juga seseorang yang membaca nama saya dengan cara serupa.

Membaca nisan-nisan itu, saya takjub, karena menemukan nama-nama artis yang termasuk kategori "aku suka" dulu. Persis tetangga kuburan kerabat saya adakah makam mendiang Ruth Pelupessy, artis pilem seangkatan Mike Widjaya, Connie Suteja, Rima Melati, dan Rina Hassim. Sepelemparan batu dari situ ada makam mendiang Rinto Harahap dan Is Haryanto, dua orang pengarang lagu pop kawakan. Juga ada makam Ireng Maulana, legebda jazz Indonesia. Serta makam Eddy Silitonga, penyanyi pop terkenal akhir 1970-an sampai awal 1980-an, salah seorang favorit saya.

Dua pelemparan batu ke arah selatan, ada makam mendiang Soedarmanto Kadarisman, Mantan Dubes Indonesia untuk Kerajaan Belanda peruh kedua 1990-an. Secara selang- seling di sekitarnya, saya baca nama-nama mendiang yang terindikasi bangsawan Jawa (orang kraton). Juga nama-nama mendiang pengusaha, dan mendiang yang mencantumkan gelar-gelar akademik dan pangkat tentara dan polisi.

Terpikir olehku, semasa hidupnya para mendiang tersebut tidak hanya dipisahkan oleh ruang dan waktu, tetapi juga oleh kelas sosial, dengan mayoritas mendiang yang terkubur di Kampung Kandang. Mereka berada di kelas sosial atas atau menengah, sementara mayoritas lainnya di kelas bawah. Mereka menguasai modal, sementara mayoritas lainnya hanya punya tenaga/keahlian. Ada jarak sosial antara mereka semasa hidupnya.

Tapi di Kampung Kandang mereka dipersatukan oleh ruang dan waktu, bertetangga untuk selamanya, tanpa perbedaan kelas. Di pekuburan ini tidak ada pemilikan pribadi lagi. Semua jasad mendiang, tanpa pandang bulu, sama rata, hanya menempati 1 x 2 meter tanah pemerintah dengan status sewa per 3 tahun. Semua "rumah masa depan" yang mereka huni sama ukuran dan bentuknya, gundukan tanah yang ditansmi rumput jepang. Tidak ada lagi kaya-miskin, majikan-buruh, ataupun tuan-hamba. Itulah wujud ideal komunisme, tatanan sosial tanpa kelas.

Fakta itu mengingatkan saya pada Marxisme, pemikiran Karl Marx. Marx mengritik keras tatanan sosial kapitalisme yang menurutnya eksploitatif, tidak berkeadilan. Menurutnya, dalam tatanan itu ada dua kelas sosial, yaitu kelas pemilik modal yang kaya, dan kelas pekerja yang miskin karena dieksploitasi oleh kelas pemodal. Maka Marx mencita-citajan masyarakat tanpa kelas, yang disebutnya tatanan komunisme. Di situ modal tidak dimiliki individu, tapi dikuasai negara untuk kemaslahatan bersama.

Saya pikir, tatanan komunisme itu kini terwujudkan di pekuburan Kampung Kandang, dan pekuburan lainnya. Tidak ada pemilikan individu di situ, karena setiap mendiang hanya menempati sepetak kecil tanah yang dikuasai pemerintah.  Setiap mendiang mengenakan status sosial yang sama rata sama rasa  di situ. Sehingga tepatlah jika dikatakan,  pekuburan itu adalah  perwujudan  "tatananan komunisme" yang dibayangkan Marx.

Marx percaya bahwa pada akhirnya, setelah kapitalisme usang, maka akan muncul komunisme sebagai tatanan baru. Saya kira dia benar. Semasa hidup kita sekarang, kita hidup dalam formasi sosial kapitalisme. Pada masa berikutnya, saat kita berpulang, maka kita masuk ke dalam tatanan komunisme. Sebagaimana terwujudkan di pekuburan Kampung Kandang itu, untuk menyebut satu kasus.

Suatu refleksi kritis agaknya diperlukan sekarang, berkaca pada tafsir sosiologis atas pekuburan ini.  Komunisme kini hanya berlaku di alam kubur, tetapi mengapa kita masih ketakutan pada  komunisme? Ya, betul komunisme hanya ada di kuburan, tetapi hantunya masih gentayangan di sekitar kita. Dan, cilakanya, kita tergolong bangsa yang warganya takut pada hantu.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun