Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Belajar Menulis Sederhana

28 Agustus 2017   09:11 Diperbarui: 28 Agustus 2017   11:19 1406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: antaranews.com)

"Tulisan yang baik adalah yang  menyajikan suatu masalah njlimet-rumit secara lurus-sederhana". Itu nasihat guru saya dulu, yang selalu saya pegang. "Sebab kalau tak bisa menjelaskan soal rumit dengan cara yang sederhana, berarti kamu sebenarnya tak paham apa yang kamu jelaskan," kata guru saya dulu.

Pertanyaannya, apa mungkin menjelaskan kerumitan dengan cara dan bahasa yang sederhana? Jawabnya, " Mengapa tidak? Sebab bukankah Tuhan menciptakan dunia ini sederhana saja? Pikiran manusialah yang membuatnya rumit."

Tak perlu jauh-jauh cari contoh. Di Kompasiana ada teladan fenomenal  penulis sederhana. Pak Tjiptadinata Effendi namanya. Perhatikan, artikel-artikelnya sederhana, tapi berbobot, sarat pesan dan pelajaran. Cara tutur, gaya bahasa, susunan kalimat, dan pilihan kata, semuanya bersahaja. Gampang ditangkap dan dicerna.

Menulis sederhana yang saya maksud, ya, seperti  capaian Pak Tjip itulah. Topik, pesan,  konsep, alur, gaya bahasa, alinea, kalimat, dan pilihan  kata semuanya sederhana. Tidak membuat kening penulisnya berkerut saat menulis. Juga tak membuat kening pembaca berkerut saat membaca. Jadi, tidak boros energi. Yang muda tak cepat tua, yang tua awet tua.

Jujur, saya sedang berjuang untuk mampu menulis sederhana. Seperti model Pak Tjip itu. Tapi tentu dengan proses dan hasil "sederhana yang beda", khas saya sendiri. Bukan peniru atau pengekor Pak Tjip. Apalagi plagiat, amit-amit.

Sejumlah artikel saya terdahulu, saya niatkan sebagai tulisan sederhana. Sebagai contoh, yang saya ceritakan di sini,  artikel "Sosiologi Pekuburan di Jakarta" (Kompasiana, 21/8/17). Sosiologi punya kecenderungan untuk jatuh pada kerumitan, sehingga tantangan untuk tiap sosiolog adalah menjelaskan suatu gejala sosial secara sahaja.

Artikel "Sosiologi Pekuburan di Jakarta" itu berangkat dari pengalaman sederhana, ziarah kubur ke TPU Kampung Kandang, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di sana saya bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang sederhana, para pekerja kuburan asal Karawang, Jawa Barat.

Dengan Pak Dadang, salah seorang dari mereka,  keluarga saya menjalin kesepakatan  perawatan makam.  Sejak penggaluan kubur, dia sudah diplot untuk merawat makam kerabat saya.

Saya kerap berbincang dengan Pak Dadang dan teman-temannya. Dari merekalah saya mendapat informasi tentang kehidupan sosial-ekonomi para pekerja kuburan.

Ternyata mereka bekerja secara informal. Menggantungkan nafkah semata pada relasi dengan dan kemurahan hati dari kerabat almarhum/ah. Sekadar untuk bertahan hidup, survival, dengan kondisi serba marjinal di Jakarta.

Maka saya coba cari konsep sosiologi untuk menjelaskan relasi sosial antara Pak Dadang dan saya, selaku wakil kerabat. Terpikirlah konsep "patron-client" (majikan - pekerja), sebuah relasi resiprokal.

Sederhananya, saya memberi pekerjaan, Pak Dadang mengerjakannya. Pak Dadang mendapat upah,  makam kerabat saya terurus. Hubungan itu informal, nyaris kekeluargaan sifatnya.

Itulah yang saya coba ungkapkan lewat artikel tersebut. Dengan cara tutur yang, saya telah usahakan, sesederhana mungkin. Seperti seorang anak bertutur pada ibunya, tentang suksesnya menangkap capung di pekarangan.

Berhasilkah saya menuliskannya secara sederhana? Sejujurnya, saya akui, belum berhasil. Ini juga berlaku untuk artikel-artikel saya yang lain.

Ternyata  sungguh tak mudah   menyuratkan sesuatu secara sederhana. Tak mudah menerapkan sebuah konsep atas fakta secara sederhana, mudah dimengerti. Tak mudah menemukan kata sederhana, untuk dirangkai menjadi kalimat sederhana. Tak mudah membangun alinea sederhana, untuk ditata pada alur sederhana.

Ringkasnya, ternyata tak mudah merdeka dari cara pikir ribet, dengan konsep-konsep yang njlimet. Yang lalu tumpah-ruah membentuk tulisan yang juga ribet-njlimet, ketat, dan bikin lelah. Penulis lelah nulis, pembaca lelah baca. Sama-sama terkuras energinya.

Benak saya  belum sepenuhnya bebas lepas dari penjara "kompleksitas". Kadang masih berpikir, semakin kompleks tulisan, semakin bagus. Ribet-njlimet itu tanda mampu, bukti bermutu.

Pada saat bersamaan, kadang masih terpikir, lurus-sahaja itu tanda tak mampu. Tak mampu mengembangkan ide dan bahasa. Penulis gagal, atau kelas pemula.

Ketakmampuan itu membuat saya merasa bersalah pada guruku. Karena belum mampu menulis sederhana sesuai nasihat beliau. Tapi saya tak akan berhenti belajar.

Sebenarnya, saya penganut anarkisme dalam kerja penulisan. Tapi  harus saya akui,  anarkisme ternyata tak berimplikasi penulisan sederhana, bersahaja. Anarki adalah anarki, sederhana adalah sederhana.

Hanya saja,  anarkisme mungkin bisa membantu saya untuk menemukan gaya tulis sederhana yang khas. Gaya yang langsung dikenali pembaca, tanpa melihat nama penulisnya.  

Saya sedang berjuang untuk sampai ke sana, penulisan sederhana. Sebab, prinsip saya, kalau bisa lurus-sederhana, kenapa pula harus ribet-njlimet?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun