Sederhananya, saya memberi pekerjaan, Pak Dadang mengerjakannya. Pak Dadang mendapat upah, Â makam kerabat saya terurus. Hubungan itu informal, nyaris kekeluargaan sifatnya.
Itulah yang saya coba ungkapkan lewat artikel tersebut. Dengan cara tutur yang, saya telah usahakan, sesederhana mungkin. Seperti seorang anak bertutur pada ibunya, tentang suksesnya menangkap capung di pekarangan.
Berhasilkah saya menuliskannya secara sederhana? Sejujurnya, saya akui, belum berhasil. Ini juga berlaku untuk artikel-artikel saya yang lain.
Ternyata  sungguh tak mudah  menyuratkan sesuatu secara sederhana. Tak mudah menerapkan sebuah konsep atas fakta secara sederhana, mudah dimengerti. Tak mudah menemukan kata sederhana, untuk dirangkai menjadi kalimat sederhana. Tak mudah membangun alinea sederhana, untuk ditata pada alur sederhana.
Ringkasnya, ternyata tak mudah merdeka dari cara pikir ribet, dengan konsep-konsep yang njlimet. Yang lalu tumpah-ruah membentuk tulisan yang juga ribet-njlimet, ketat, dan bikin lelah. Penulis lelah nulis, pembaca lelah baca. Sama-sama terkuras energinya.
Benak saya  belum sepenuhnya bebas lepas dari penjara "kompleksitas". Kadang masih berpikir, semakin kompleks tulisan, semakin bagus. Ribet-njlimet itu tanda mampu, bukti bermutu.
Pada saat bersamaan, kadang masih terpikir, lurus-sahaja itu tanda tak mampu. Tak mampu mengembangkan ide dan bahasa. Penulis gagal, atau kelas pemula.
Ketakmampuan itu membuat saya merasa bersalah pada guruku. Karena belum mampu menulis sederhana sesuai nasihat beliau. Tapi saya tak akan berhenti belajar.
Sebenarnya, saya penganut anarkisme dalam kerja penulisan. Tapi  harus saya akui,  anarkisme ternyata tak berimplikasi penulisan sederhana, bersahaja. Anarki adalah anarki, sederhana adalah sederhana.
Hanya saja, Â anarkisme mungkin bisa membantu saya untuk menemukan gaya tulis sederhana yang khas. Gaya yang langsung dikenali pembaca, tanpa melihat nama penulisnya. Â
Saya sedang berjuang untuk sampai ke sana, penulisan sederhana. Sebab, prinsip saya, kalau bisa lurus-sederhana, kenapa pula harus ribet-njlimet?***