Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Orang Batak Terlibat USDEK di Solo

8 Agustus 2017   16:55 Diperbarui: 9 Agustus 2017   03:39 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susunan kursi dan meja dalam resepsi USDEK yang saya hadiri (Dokpri)

Tenang, ini bukan soal manifesto politik USDEK-nya Soekarno. Bukan soal UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang dicanangkan Soekarno pada 17 Agustus 1959 sebagai haluan negara Republik Indonesia.

Ini cerita tentang yang enak-enak. Tentang cara saji dalam resepsi pernikahan menurut tradisi Solo atau Surakarta. USDEK itu akronim dari urutan proses saji atau resepsi. Mulai dari U(njukan) berupa minuman manis untuk tetamu, biasanya teh manis hangat, dilengkapi kue-kue legit. Dilanjutkan dengan S(up) hangat berisi antara lain potongan sayuran dan daging atau bakso, sebagai penggugah selera.  Lalu D(aharan) atau sajian makanan utama berupa nasi dan lauk-pauknya ditata dalam piring. Ditutup dengan E(s krim) sebagai hidangan penutup atau "cuci mulut". Sebelum diakhiri dengan K(ondur) atau tetamu beranjak pulang sambil menyalami pengantin baru yang berdiri di pintu keluar ruangan resepsi.

Sebagai warga yang besar di Toba, tata-cara USDEK itu sesuatu yang eksotis untuk saya. Sering dengar, tapi belum pernah lihat, apalagi mengalami sendiri. Ditambah sebutan "piring terbang" untuk tata-cara USDEK itu, saya tambah penasaran.

Selain tata-cara prasmanan yang lazim di Jakarta atau Jawa Barat, saya hanya paham tata cara sajian dalam resepsi pernikahan orang Batak di pedesaan tahun 1970-an. Dalam resepsi orang Batak, tetamu duduk di atas tikar di halaman rumah secara berkelompok, satu kelompok 5-6 orang. Dipisahkan antara kelompok perempuan dan anaknya dan kelompok lelaki dewasa.

Dalam tesepsi tradisional, makanan disajikan di atas lembaran daun pisang, yang diletakkan di tengah kelompok tetamu yang duduk melingkar.  Di bagian tengah ada gunungan nasi. Lalu disampingnya ada tumpukan  lauk "saksang" (cincang a'la Batak). Semua itu disajikan oleh "parhobas", semacam "pelayan adat" yang berasal dari keluarga pihak "pengambil isteri". Setelah makanan tersaji semua, dan doa makan didaraskan, maka para tetamu akan berlomba-lomba menyantap makanan yang terhidang di depannya. Semua makan pakai tangan langsung.

Cara makan yang kompetitif  dalam kelompok seperti itu menjadi alasan pemisahan antara lelaki dewasa dan perempuan/anak-anak.  Kalau dicampur, khawatir perempuan dan anak-anak tidak kebagian makanan.  Mengingat   kecepatan telan dan daya raup lelaki dewasa yang lebih unggul. Lelaki dewasa selalu makan lebih cepat dan lebih banyak dibanding perempuan dan anak-anak.

Begitulah ringkasan nostalgia masa kecil di Toba sana.  Sekarang masuk pada pengalaman terlibat USDEK di Solo pada hari Sabtu, 5 Agustus 2017 lalu, malam hari. Ini betul-betul pengalaman baru. Saya sungguh "exciting" mengikutinya.

Bertempat di Wisma Batari Solo, tetamu sudah lengkap hadir sebelum pukul 19.00. Tetamu duduk manis di kursi-kursi yang ditata mengapit  meja-meja. Di atas meja diletakkan gelas-gelas minum, perangkat utama U(njukan).

Tepat pukul 19.00, iring-iringan pengantin bergerak dari ruang belakang gedung ke koridor samping, untuk selanjutnya masuk ke dalam gedung dari pintu depan dan duduk di pelaminan sebagai "raja dan ratu dua jam". Proses itu berjalan khidmad dengan kelambanan yang anggun, tapi membuat kaki saya yang ikut dalam iring-iringan sungguh pegal.

Setelah duduk di kursi, saya sebenarnya sudah tidak sabar menunggu sajian a'la USDEK. Gelas-gelas minum di atas meja sudah terisi penuh.  Tapi masih harus sabar menunggu kata-kata sambutan yang ....blass...aku ra mudheng ... karena semua dalam bahasa Jawa tinggi, krama inggil.

Tiba-tiba dari pintu samping masuk para "sinom" atau "pelayan" menatang tampah berisi piring-piring kecil drngan potongan kue cokelat dan sosis solo di atasnya. Nah, tahap U(njukan) telah dimulai. Teh manis hangat langsung saya sruput, kue cokelat saya gigit, kunyah, dan telan penuh khidmad. Sata tak mau melewatkan kenikmatan Unjukan. Dasarnya perut sudah rada keroncongan pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun