Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Batak Itu Cengeng?

9 Desember 2016   10:15 Diperbarui: 9 Desember 2016   11:57 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jack Marpaung, salah seorang penyanyi Batak jago andung masa kini (norrysequator.blogspot.com)

Lagu andung “Huandung ma Damang” itu berkisah tentang ratapan seorang anak yang gagal dalam hidupnya, atas kematian Amangnya (ayah) yang tak kunjung bisa dibahagiakannya. 

Menyimak syairnya yang begitu indah, tak terbaca nada kecengengan di situ. Juga jika mendengarkan langsung lagu itu dinyanyikan kelompok “Trio Golden Heart”, grup penyanyi Batak legendaris yang mempopulerkan lagu itu tahun 1970-an, tak terdengar nada cengeng sama sekali. 

Menurut saya, Trio Golden Heart-lah penginterpretasi terbaik untuk lagu itu. Mengisahkan kisah pilu tanpa nada cengeng. Sebaliknya justru indah.

Tidak seperti penyanyi Batak generasi masa kini, yang menyanyikan lagu itu dengan bumbu isak tangis, helaan nafas berat, lesapan ingus, dan lain improvisasi yang pada pokoknya “lebaayy…”.  Esensi malah lenyap oleh ekspresi sensasi.

Andung” sejatinya adalah salah satu bentuk kekayaan seni tradisi budaya Batak. Aslinya andung itu bersifat personal. Ditembangkan dalam kesendirian, untuk diri sendiri, sebagai katarsis dari tekanan berat kehidupan. Esensinya adalah ungkapan rasa sakit, derita, pilu, dan sejenisnya, lazimnya karena tekanan kemiskinan atau kemalangan dalam hidup. 

Orang Batak tempo dulu memang sudah bergulat dengan masalah kemiskinan. Sumberdaya alam yang terbatas menjadi sebab. Dominasi lahan kering yang tandus tidak memberi rejeki yang memadai untuk orang Batak, dengan segala keterbatasan teknologi. Maka kemiskinan menjadi keseharian untuk banyak orang Batak. 

Kemiskinan mendorong orang Batak merantau. Ke Sumatera Timur atau Jawa dan daerah lain. Tapi merantau tak pernah mudah. Kemiskinan tidak serta merta lekang. Maka penderitaan selalu mengikuti setiap helaan nafas.

Di bawah tekanan berat kehidupan, maka andung menjadi sarana katarsis terbaik. Untuk penguatan diri, menghadapi kenyataan besok hari, yang sudah untung bila bisa sama dengan hari ini.

Maka andung, atau “mangandung”,  sebenarnya adalah ekspresi jujur orang Batak tentang derita hidupnya. Lazimnya tanpa isak tangis, tanpa luberan air mata. Mungkin mata basah, tapi bukan karena sedu-sedan. 

Kerap juga seseorang, lazimnya perempuan tua, memanggungkan “andung”nya dakam kesempatan melayat orang meninggal. Biasanya, kalau orang yang pandai andung sudah “mangandung”, para pelayat akan menyimak dan menikmatinya. Tidak semua orang bisa “mangandung”, mengingat irama, kosa kata, dan idiomnya yang spesifik. Orang yang cuma bisa “mangangguk bobar” (nangis bombay) biasanya akan disuruh diam.

Tradisi andung itulah yang kemudian diangkat ke khasanah lagu Batak populer. Sayangnya, dalam perkembangannya, esensi andung itu malah cenderung memudar ketika diekspresikan dalam bentuk lagu populer. Yang menonjol justru sensasi sedu-sedan yang didramatisir, memenuhi selera pasar.  Akibatnya malah terkesan cengeng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun