Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tak Ada Kalah Gratis

20 November 2015   09:19 Diperbarui: 20 November 2015   12:00 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

(Humor Revolusi Mental #111)

Tak hanya kemenangan, sebuah kekalahan juga ada nilainya.

Bahkan, untuk maksud tertentu, ada kalanya sebuah kekalahan menjadi pilihan yang lebih rasional ketimbang sebuah kemenangan.

Tak percaya? Pengalaman Frans mungkin bisa bikin terang soal ini.

Suatu hari di tahun 1991, dalam rangka penelitian, Frans dan Piet menginap di sebuah hotel di pusat kota Ende, Flores.

Sore hari, selepas menemui sejumlah informan, Frans duduk istirahat di teras kamar hotel sambil mengutak-atik perangkat catur yang tersedia di atas meja.

“Heeii, Bapaak! Suka catur, kah? Mari, saya temani main.” Tiba-tiba saja seorang lelaki paruh baya muncul di hadapan Frans, menyapa ramah, dan langsung duduk di kursi seberang meja.

“Saya suka catur,” lanjut lelaki itu, sambil menata biji-biji catur di atas papannya, tanpa menunggu persetujuan Frans.

“Bapak putih, saya hitam. Mari, Bapak mulai dulu.” Lelaki itu mempersilahkan Frans mengawali langkah.

Langkah pertama diambil, selanjutnya mengalir begitu saja. Frans dan lelaki itu larut bermain sambil ngobrol akrab layaknya sudah kenal lama.

Skakmat! Skakmat! Skakmat! Skakmat! Skakmat! Tak terasa lima ronde permainan sudah terlewatkan. Hebatnya lagi, semua untuk kemenangan Frans.

“Heeih, Bapak hebat sekali. Tapi ini sudah senja. Saya harus pulang, Bapak,” kata lelaki itu di ujung kekalahannya yang kelima kali.

Cuping hidung Frans langsung mekar dipuji hebat.

“Tapi begini, Bapak. Saya tadi sebenarnya disuruh isteri untuk jual ini kain tenun. Bapak tolong belilah. Butuh uang beli beras, Bapak,” lanjut lelaki itu sambil menawarkan selembar kain tenun Sumba yang sudah agak tua. Rupanya dia adalah penjaja yang sering menawarkan barang kepada tetamu hotel.

Cuping hidung Frans langsung balik kuncup ditodong beli kain.

“Heeih, untuk Bapak saya kasih murah, sudah. Limapuluh ribu, jadi sudah,” cecar lelaki itu menutup kesempatan Frans berpikir waras.

“Waduh, pantesan dia kalah terus tadi. Ada udang di balik batu rupanya,” bathin Frans agak memelas sambil memandangi kain tenun Sumba di pangkuannya, sesaat setelah lelaki tadi menghilang dengan uang limapuluh ribu rupiah di sakunya.

“Heei, Frans, hati-hati kau. Dewa olahraga dan dewa perdagangan itu sama, Hermes,” teriak Piet yang sedari tadi rupanya mengamati kejadian itu dari pintu kamarnya.(*)

#Pesan revolusi mental: “Lupakan kemenangan jika itu berarti membayar biaya kekalahan lawan.”

 

*)Ilustrasi "Dua Lelaki Main Catur", diambil dari Chees.com/heri sudriana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun